Menjadi Pemenang (bag I)




Mungkin kalau kita mau merenung, sebenarnya tidak sederhana, ketika kita mengemukakan sebuah nasehat untuk ‘Menjadi Pemenang’. Sebuah nasehat yang sepertinya saat ini begitu sering terdengar di telinga. Dan saya memang lebih suka mempersepsikan hal ini pada sebuah tingkatan pemahaman, yang tentunya kita tidak bisa memaksakan seseorang untuk paham pada sesuatu yang saat ini belum berada tingkat pemahamannya. Seperti analogi pada seseorang yang masih pada tahap awal belajar piano, rasanya tidak mungkin kalau dia sudah disodori deretan partitur gubahan yang begitu rumit untuk dimainkan. Hanya saja, yang penting bagi si murid sekolah piano ini, bahwa di awal proses belajarnya dia paham akan tingkatan-tingkatan yang harus dilaluinya.
Entah kita sadari atau tidak, tapi perilaku budaya kita saat ini juga banyak menggiring pemahaman akan makna pemenang. Bahkan sampai membuat makna itu cukup berbeda signifikan secara umum secara gender. Mari coba kita renungkan, seorang anak laki-laki lebih banyak dari kecil dididik untuk melihat bahwa dunia ini adalah sebuah persaingan. Sementara anak perempuan secara naluriah lebih melihat kehidupan sebagai sebuah kebersamaan.
‘Menjadi Pemenang’ bagi sebuah paradigma ‘persaingan’ tentunya akan diterjemahkan secara berbeda oleh seseorang yang memiliki paradigma ‘kebersamaan’. Hal inilah yang mungkin membuat slogan dan penjelasan panjang lebar ‘Menjadi Pemenang’ tanpa diikuti oleh perenungan akan pemahaman paradigma diri, akan menyebabkan penajaman makna persaingan atau kebersamaan itu sendiri dalam diri.
Dalam konteks ini, kita memang tidak bisa melihat secara benar salah, tapi saya mencoba melihat hal ini pada sebuah tingkatan. Dimana tingkatan yang pertama adalah sebuah kemenangan pada sebuah atmosfer persaingan. Karena yang terjadi apakah sebuah persaingan atau tidak sebenarnya bukan pada keadaan itu sendiri, tapi lebih kepada cara pandang kita melihat sebuah kondisi.
Orang yang melihat segala hal sebagai iklim persaingan, tentunya akan menerjemahkan bahwa ‘Menjadi Pemenang’ berarti mengalahkan. Pendekatan Stephen Covey akan hal ini ada pada istilahnya mengenai Scarcity Mentality. Sebuah Mentalitas yang melihat segalanya serba terbatas. Pada batas tertentu hal ini memang bisa positif, terutama dalam membakar semangat dan motivasi dalam melihat rintangan kehidupan. Tapi tanpa pendalaman dan perenungan lebih lanjut, hal yang positif ini bisa menyeret kepada sesuatu yang tidak baik.
Pernah saya melihat pada sebuah lomba gambar anak-anak. Ada seorang anak yang memang terkenal selalu menjuarai lomba gambar di daerahnya sendiri. Piala dan penghargaannya begitu banyak. Tapi kali ini si anak harus mengikuti lomba di luar daerahnya. Dan benar, kali ini si anak sama sekali tidak mendapat nomor urutan juara. Alih-alih si orang tua berusaha untuk mendidik anaknya agar sesekali menerima kekalahan dan kekecewaan, si orang tua ternyata sudah menyiapkan piala membawa diam-diam dari rumah. Menunggu sampai sebagian besar peserta pulang, kemudian datang kepada panitia, agar mengumumkan di panggung memberi piala yang dibawanya agar diberikan ke anaknya.
Saya menilai kejadian itu, bahwa sang orang tua masih melihat ‘Menjadi Pemenang’ dalam tingkatan hanya pada sebuah iklim kompetisi. Dan tidak berusaha menggali tingkatan lebih lanjut. Sehingga motivasi yang begitu kuat kepada si anak untuk membuat gambar yang sebaik-baiknya dalam lomba itu, proses pembelajarannya justru terganggu oleh jalan pintas yang akan menghambat pendewasaan si anak.
Tingkatan yang kedua adalah ‘Menjadi Pemenang’ dalam sebuah pemahaman iklim ‘kebersamaan’. Sebuah iklim yang melihat bahwa semua orang pasti berpihak kepada kita. (bersambung)
 
 
Pitoyo Amrih
Bersama Memberdayakan Diri dan Keluarga

No comments:

Post a Comment