Lidah Buaya Tetangga


Baru tersadar aku jika di sekitarku ternyata banyak tetangga menanamLidah Buaya. Kesadaran yang satu segara menyulut kesadaran berikutnya: betapa nyaris tidak ada pihak yang memanfaatkannya. Padahal betapa lama tanaman ini dikenal sebagai penyubur, penghitamdan penghalus rambut. Padahal betapa banyak sekarang ini rambut yang menua, mengusam dan merontok oleh berbagai macam persoalan. Ada jenis rambut yang telalu banya dikeramas dengan shampokimia. Ada yang karena stres si pemilik kepala lalu botak tanpa terasa. Ada yang campran dari keduanya: sudah terlalu banyak kimia, ditambah stres pula pikirannya. Inilah lalu komposisinya; di satu sisi ada rambut yang butuh pertolongan, di sisi lain ada penolong yang terlantar sia-sia. Komposisi ini mirip sekali dengan kedaaan negara: ada begitu banyak lapangan keja, tetapiadabegitu banyakpenganggur.

Padahal persoalannya tidakcuma sebatas ini. Ada lagi persoalan tambahan yang butuh secara serius disikapi. Bungkus shampo kemasan itu, ternyata sudahmengotori tempat apa saja. Di pelosok-pelosok desa yang pernah kudatangi, di pemandian-pemandian umum, bahkan di sendang-sendang keramat tempat para peziarah berdoa, mereka bisa mandi sambil membuangsembarangan bungkus shamponya. Berdoa sambil membuat kekotoran, adalahsebuah fenomena yang lain lagi.

Kembali pada soal lidah buaya tetanggakudan rambut bermasalah itu, rambutku, pasti tak terkecuali. Soalnya pasti juga sama saja: terlalu banyak obat kimia, usia yang menuia dan stres pula. Seluruh merk shamposudah aku jelajahi, seluruh promosi penyubur rambut telah coba aku percayai, tetapi hasilnya sia-sia. Rambutku tetap makin rontok dan kusam belaka. Melihat gelagat buruk ini, aku sudahmenyiapkan langkah radikal, katimbang tiap hari aku melihat rambut ini cuma berguguran tanpa bisa dikendalikan, akan kuputuskan untuk cukur gudul saja. Tak peduli akan jadiseperti apa bentukku ini, tetapisetidaknya sudah berkurang lagi urusanku; mengurus rambut.
Tapi belum sampai keputusan ini kuambil, sudah keburu ketemuaku dengan tetanggaku penanam lidah buaya itu. Semangatsekali ia mempromosikan tanamannya karena seluruh kegiatan, jika miskin reaksi, memang cumaakan mendatangkan rasa sepi. Begitu juga dengan tanaman lidah buayanya ini. Semula ia mempraktekkan caranya, tinggal potong, kucurkan, oleskan. Di tempat itu juga. Aku pun menirunya. Eh, benar juga, cairanini mendinginkan kepala. Tak peduli orang-orang yang melihat tergoda untuk geli, tapi kami cuek saja. Perasaan bahwa kepalaku telah dikeramas dengan obat paling alamiah, bebas kimia, bebas efek samping, penyubur rambut paling terkenal di dunia, tinggal metik saja, ramah lingkungan, gratis pula... mendatangkan perasan gembira. Maka keramas gaya purba ini sekarang menjadi kebiasaan saya.

Memang penuh cobaan karena bau tanaman ini benar-benar seperti bau keringat buaya betulan. Lalat saja enggan mendekati kepalaku. Semakin tua daunnya semakin lengket cairannya. Kepala rasanya dingin seperti diolsesi oli bekas saja. Itupun masih harus didiamkan setidaknya setengah jam pula. Menyiksa untuk ukuran zaman instan. Tetapi karena sudahterbukti dampak instanisasi dan sudah kuyakini kekuatan hukum alam, aku gembira menyambut penderitaan ini. Maka setiap habis keramas dengan cara ini, aku merasa sedang kerasukan energi murni. Selain rambutku serasa tambah sehat, otakku rasanya juga tambah cerdas. Aku tak peduli apakah perasaan terbukti. Tapi karena aku sudah merasa, maka rasa itu langsungsaja aku percayai.
Begitu dekat tanaman ini dari tempat tinggalku. Tapi butuhsedemikan lama untuk bertukar energidan saling ketemu. Di dunia ini, pastibanyaksekalai pihak yang menunggu tapi kita tak pernah datang dan mengetuk pintu!

No comments:

Post a Comment