When Enough is Enough

Bila anda sempat berkunjung ke kota Solo, ada suatu hal yang cukup khas menghiasi tepi-tepi jalan kota ini, bahkan mungkin sampai masuk ke jalan-jalan kecil kampung atau pun perumahan. Sebuah warung tenda sederhana yang menjajakan segala macam makanan, nasi bungkus, gorengan, makanan kecil ringan. Anda jangan bayangkan sebuah warung tenda modern warna warni yang ada di kawasan hunian modern, warung tenda khas Solo ini umumnya hanya ditutup kain terpal, nuansa gelap diterangi lampu minyak tanah, atau kalaupun lampu listrik, hanya berupa lampu remang-remang lima watt.
Sekitar lima belas tahun lalu, saya pernah memiliki langganan warung kaki lima ini. Sang penjual seorang bapak tua, yang di usia tuanya dengan tekun dia melayani pembeli. Segala macam profesi kehidupan pernah mampir di warung ini, sopir, polisi, tukang becak, pemulung, sales-man, dan selalu saja setiap malam para pelanggan ini juga seringkali bercerita kesana kemari tentang apa saja kepada bapak tua penjual. Semacam curahan hati. Dan sang bapak penjual, dalam ritual melayani si pelanggan itu, juga setia menjadi pendengar yang baik bagi si pembeli.
Baru-baru ini, lima belas tahun kemudian, saya coba mampir ke warung nostalgia saya dulu itu, dan,.. potret yang kurang lebih sama dengan lima belas tahun lalu masih sama di sana. Sang bapak tua penjual yang seperti tak berubah, menyendok gula, menuangkan teh, menyajikan makanan, dengan ritme yang sepertinya sama, jumlah pengunjung yang kurang lebih sama, dikatakan sepi juga tidak, karena selalu tempat duduk yang mengelilingi tenda itu penuh, ditambah beberapa lembar tikar yang digelar di tepi jalan. Dikatakan ramai sekali juga tidak, karena, semua yang datang pasti kebagian tempat. Dan masih sama, orang-orang itu seperti menemukan tempat yang cocok melampiaskan curahan hati mereka, dan sang penjual tetap menjadi pendengar yang baik.
Dipandang dari sisi manajemen usaha modern, mungkin anda bisa langsung mempredikati bahwa model usaha seperti adalah contoh usaha yang tidak begitu tumbuh berkembang, lima belas tahun lalu seperti itu, saat ini masih seperti itu.
Saya pernah suatu kali melihat sebuah kisah dalam film. Bercerita tentang seorang tycoon pialang saham kaya raya yang begitu menyenangi profesinya sebagai seorang pemilik modal besar untuk jual-beli saham perusahaan-perusahaan raksasa. Diceritakan bahwa dia juga merangkak dari kecil untuk bisa seperti itu, tapi kemudian nalurinya terbentuk murni hanya dalam upaya untuk menumpuk harta dan menimbun kekayaan. Untung dan untung. Dia tidak berusaha untuk memahami arti sebuah proses produksi, dan maknanya bagi nilai tambah sebuah mata rantai kehidupan. Sehingga arti usaha baginya adalah menumpuk aset kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa batas. Kata-kata yang keluar dari mulutnya di setiap transaksi dan negosiasi, adalah ‘fair enough’, ’..good enough’,.. dimana arti kata ‘cukup’ baginya adalah ketika berhasil menguasai lawan bisnisnya.
Sampai kemudian, dalam sebuah adegan, diperlihatkan seseorang yang kemudian berkata padanya, “.. when do you think.. when enough is enough..?
Di kehidupan ini, saya banyak menjumpai seseorang yang berkata bahwa apa yang dilakukannya masih belum cukup. Mereka bekerja siang malam, mengejar dead-line, mengejar target, berangkat ketika anak-anak belum bangun pagi dan pulang ketika anak-anak sudah tidur di malam hari. Sebagian lagi berkata bahwa apa yang mereka lakukan dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhannya, tapi mereka tetap bekerja siang malam, tidak sempat sekedar untuk menyapa anak-anak mereka setiap harinya.
Memang tidak mudah mengartikan kata "cukup". Saya sendiri memahami bahwa cukup berarti berusaha menjadi bagian dari mata rantai sebuah kehidupan alam raya secara seimbang. Dan seperti selayaknya sebuah kesetimbangan alam, .. mengambil tidak lebih dari apa yang dibutuhkan. Maka ketika kita melihat manusia berupaya tanpa henti seolah untuk ingin mendapatkan semuanya,.. sambil kita berkata bahwa –bahkan- itu semua belum cukup. Rasanya pertanyaan itu menjadi relevan,.. when do we think when enough is enough..?
Mungkin ditengah kesibukan kita, sesekali kita perlu belajar dengan orang seperti pak tua sang penjual warung tenda kaki lima yang saya ceritakan di atas. Untuk lebih memahami apa arti kata cukup bagi kita.
 
 
19 Agustus 2009
Pitoyo Amrih
Bersama Memberdayakan Diri dan Keluarga

No comments:

Post a Comment