Budaya Malu dan Integritas

Salah seorang rekan yang juga merupakan senior saya, berbagi pengalaman di dunia internet saat beliau berkunjung ke Negeri Sakura, Jepang. Pengalaman menarik ini dimulai saat beliau naik taksi di Tokyo. Tanpa sengaja sopir taksi sudah melewati satu blok saat akan mengantar beliau ke hotel. Memang tampaknya tidak disengaja, dan berkali-kali pula sopir tersebut meminta maaf, sambil memutar kembali taksinya menuju tempat yang seharusnya.

Saat tiba di hotel, beliau membayar jumlah yang sesuai dengan argo, akan tetapi tindakan luar biasa yang dilakukan oleh sopir taksi ini adalah ia memotong 25% dari jumlah yang seharusnya sambil membungkuk minta maaf. Sebuah etos kerja yang sangat luar biasa. Mereka begitu menjaga sebuah kehormatan profesi.

Pengalaman dari cerita di atas menggerakkan saya untuk menulis mengenai sebuah etos kerja. Hal ini tentunya menjadi sebuah refleksi bagi kita semua, apapun profesi kita, tentu jika kita mau membuka diri kita, dapat belajar dari pengalaman tersebut.

Budaya Malu

Kita kerap mendengar bagaimana individu Jepang ketika melakukan kesalahan atau kurang mampu menunjukkan kinerjanya, lalu memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya (tentu, tidak selalu kalau melakukan kesalahan harus mengundurkan diri). Akan tetapi kalau kita menyimak apa yang dilakukan oleh sopir taksi dari pengalaman di atas, dia merasa malu dan merasa bersalah karena sudah melewati satu blok, dan mengakibatkan penumpangnya sedikit lebih lama tiba di hotel. Berkali-kali ia meminta maaf, dan memutuskan memotong jumlah yang seharusnya didapat.

Sebuah pertanyaan refleksi, "Bagaimana dengan kita? Budaya seperti apa yang mau kita pelihara?"

Malukah kita ketika berada dalam sebuah rapat, tidak memerhatikan bahkan tidur di sela-sela rapat, tapi justru meminta sebuah fasilitas tambahan? Malukah kita ketika uang yang seharusnya untuk kesejahteraan orang banyak tapi justru dikorupsi untuk kepentingan pribadi? Malukah kita ketika dana nasabah hasil jerih payah orang lain bekerja, tapi justru dimanipulasi untuk membiayai hidup sendiri? Malukah kita ketika suatu kesalahan yang harusnya menjadi tanggung jawab kita, tapi justru menyalahkan pihak lain, menyalahkan situasi, dan menganggap segala sesuatu baik-baik saja dan tidak berani mengambil suatu keputusan?

Integritas

Kita kerap mendengar kata ini, tapi sebenarnya apa makna terdalam di balik kata integritas? Dalam sebuah kelas pelatihan, ketika saya menanyakan apa arti integritas, sebagian besar berpikir bahwa integritas adalah kejujuran. Bila kita mau memahami lebih dalam, integritas tidak sekadar jujur. Ia memiliki nilai yang lebih dalam. Ketika seseorang berpegang pada prinsip kebenaran dan berani menyatakan mana yang salah dan mana yang benar, serta ketika perkataan dan perbuatannya selaras, maka pribadi ini memahami makna integritas dan menjalani dalam hidupnya.

Sang sopir tadi tahu persis ia salah, dan ia berani menyatakan bahwa dirinya salah dan mengambil tanggung jawab atas kesalahan dia. Bagaimana dengan perilaku kita sehari-hari dalam organisasi di mana kita bekerja?, Jika kita sebagai pemimpin melihat ada yang salah, apakah kita diam saja seolah tidak mau tahu atau justru berani menyatakan kepada anggota tim bahwa hal itu salah dan harus diubah? Jika kita yang bekerja di sebuah instansi baik itu swasta maupun pemerintah, sudah berani menyatakan mengenai kedisiplinan, pelayanan yang baik, apakah kita sudah menjalankan itu semua? Apakah selama ini kita sudah sejalan apa yang keluar dari mulut dan apa yang dijalankan? Atau justru selama ini kita justru banyak melakukan kompromi terhadap nilai-nilai kebenaran yang kita percayai? Kita sering bicara dengan banyak orang atau mendengar mengenai integritas tapi belum tentu kita paham artinya. Kita mungkin sudah paham tapi belum tentu kita menjalankannya.

Bukan etos kerja yang malas tapi mau uang, bukan etos kerja yang mau terus dilayani tapi tidak mau melayani, bukan etos kerja yang tidak jujur dan kerap membohongi orang, bukan etos kerja yang malu untuk mengatakan maaf kalau salah yang dibutuhkan bangsa ini. Kita perlu etos kerja seperti semangat, jiwa melayani, kejujuran dan keberanian bertindak dengan integritas yang tinggi.

Ada yang pernah mengatakan kepada saya, kalau kita mau mengubah sebuah negara, ubahlah dahulu mental dan karakter orang-orang di dalamnya. Pintar saja tidak cukup, tapi harus memiliki nilai yang positif. Albert Einstein pernah berkata, "Try not to become a man of SUCCESS, but rather to become a man of VALUE." Jangan sekadar menjadi pribadi yang sukses, melainkan pribadi yang memiliki nilai. Semoga hal ini menjadi renungan buat kita semua, dan kiranya hal ini mampu membuka hati dan pikiran kita untuk mau berubah dan menghargai profesi kita dengan baik dan benar untuk membawa bangsa ini, tidak sekadar menjadi baik saja tapi menjadi lebih bernilai positif. Mari bersama kita mulai dari diri sendiri.. Mulai dari detik ini!

Salam Amazing,

Muk Kuang (Professional Trainer and Speaker)
mukkuang@gmail.com
http://ignatiusmk.blogspot.com
Twitter : @mukkuang

No comments:

Post a Comment