ShuttlecockDi Atas Genting



Masjid depan rumahku itu menyajikan banyak fungsi selain fungsi utamanya sebagai tempat ibadah: salah satunya, tempat aku nebeng main bulutangkis dengan anak lelakiku di luas halamannya. Masih 9 tahun umurnya, masih belum kokoh raket di tangannya. Tidak jelas sebetulnya siapa menemani siapa: anak menenami bapaknya, atau bapak menenami anaknya. Karena diam-diam, akulah yang jauh lebih membutuhkan permainan ini demi sebuah alasan. Tubuhku butuh bergerak di tengah seluruh pekerjaan yang hanya habis di tempat duduk. Salah satu gerakan yang paling tidak berisiko untuk amatiran sepertiku adalah bertandingbulutangkis dengan anak-anak, itupun cukupanakku sendiri.

Ada beberapa keuntungan yang telah kupertimbangan bermain dengan anak sendiri:kalau aku jengkel, ia bisa kumarahi, alau aku masih ingin, ia bisa aku bujuk (tepatnya ku tekan) agar tidak keburu berhenti, karena dia masih lugu, juga mudah saja kau curangi. Dan yang terpenting: hanya dengan pura-pura menemani anak bermain, aku bisa memperagakan tingkah kekanakan tanpa takut ditertawai. Jadi, baik lewat pendekatan kuantitatif maupun kualitatif, akulah yang lebih butuh ditemani, katimbang menemani. Dalam bahasa aktivis, anakku adalah korban tekanan dalam rumah tangga.

Tetapi alamini adil belaka. Seorang koruptor jika sudah keterlaluan, akan muntah dengansendirinya. Yang berskala besar dan tak terjangkau oleh hukum akan diurus sendiir oleh alam raya. Tapi jika iasekadar pemula dan pribadi yang sedang apes, minimal akan tertangkap basah oleh KPK. Pendek kata, ada jenis hukum yang sudah tidak perlu dikontrol, sudahotomatis akan bekerja. Begitu juga dengan kelakuanku pada anakku ini. Meminta ditemani dengan pura-pura menemani adalah sebuah niat yang bukan cuma tidak tulus tapi juga jahat. Dan korban kejahatan itu anak sendiri pula. Anak itu pun masih demikian muda umurnya. Sekecil itu sudah menanggung kejahatan yang bertumpuk-tumpuk begini, pasti derita yang mendatangkan karma bagi penjahatnya. Maka karma itu pun datang, saat itu juga. Buktinya: setiap anakku itu memukulshuttlecock-nya, arahnya melenceng senantiasa.

Tangan kecil itu memang masih terbata-bata berkoordinasi dengan akalnya. Akalnya ke sini, bolanya ke sana. Bola bulu itu sama sekali tak pernah mengarah ke hadapanku. Maka jadilah aku bukan bermain bulu tangkis tetapi sekadarmenjadi tukang pungut bola. Setiap aku marah, anakku malah tertawa gembira. Setiap ia kuajari untuk memukul lurus, tapi jatuhnya melenceng juga, ia malah geli sendiri dengan ulahnya.

Tapi namanya juga anak, adalah tugasku untuk terus membimbingnya tanpa putusasa. Kuluruskan tangannya, kubenarkan pukulannya. Pada kecepatan lambat ia mengerti maksudku, tetapi ketikaia kembali pada kecepatannya sendiri, bola itu melenceng lagi. Hebatnya, ada jenis pemelencengan yang sempurna: bola itu langsung melambung ke genting masjid kami. Karena mustahil mengurusnya kami terpaksaberganti bola. Dan bolapengganti itu lagi-lagi bersamayam d atap yang sama.Maka yang kuperoleh dari tipu daya pada anak ini bukan kegembiraan seperti yang aku bayangkan, tetapi benar-benar sebuah kemarahan.

Sudahtiga bola bersarangdi atap sana. Untuk ukuran permainan yang kurang bermutu ini, ongksonya sudahterlalu tinggi. Maka bola ke empat aku membuat perjanjian; ‘'Jikapukulanmu masih menceng, kita berhenti!''.

Singkatkata perjanjian ini disepakti. Melihat gaya bapaknya, anakku mengerti bahwa kemarahanku mulai nyata. Kembali ia melakukan servis. Ini servis penentuan. Mukanya serius dan tangannya mengejang karena ketegangan. Melihat usaha ini, sebagai orang tua, hampir saja mataku berkaca-kaca. Anak itu mengerti bahwa nasibnya sangat ditentukan oleh servis terakhirnya. Bukan cuma dia yang tegang, aku pun dilanda soal serupa. Tapi jika ketegangan ini ada hasilnya, aku sudah siap memeluknya sebagaikegembiraan. Betapapun anak itu telah menjad korban tekanan. Tapi belum rampung rasa haru ini menempati seluruh ruang, bola telah melambung lagi dan... melenceng lagi. Kami pulang serempak, saling diam, beku dan membisu.

Di esok hari, ketika anak ini sudah sekolah, rumaku sepi. Cuma shuttlecock di atas genting itu yang berhasil kupandangi. Wajah anakku berpendaran. Wajah anak yang kubayangkansebagai sedang murung dan menuding ke muka bapaknnya sebagaiorang tua yang rakus dalam berebut kegembiraan bahkan dengan anaknya sendiri.
Prie GS

No comments:

Post a Comment