Hope Will Keep Us Alive (01)


"Kemungkinan operasi jantung ini berhasil hanya 2 persen," begitu kata seorang bapak dalam sebuah percakapan telepon. Secara tidak sengaja saya mendengar kalimat bernada penuh kesedihan bercampur kekhawatiran itu ketika saya sedang berada di ruang tunggu ICU Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Saat itu saya sedang menunggu anak pertama kami (Priscilla Natali Winarto) yang baru saja menjalani operasi jantung.

Teringat pengalaman kami beberapa hari sebelum operasi, ketika sang dokter berkata, "Operasi jantung yang akan dijalani anak bapak sebenarnya termasuk operasi jantung paling ringan namun sayangnya anak bapak terlalu kecil untuk dioperasi." Maklum, anak kami akan menjalani operasi saat usianya baru 41 hari dengan berat badan hanya 2,1 kilogram. Ia terlahir prematur (34 minggu) dengan berat hanya 1,6 kilogram.

Ya, beberapa hari setelah kelahiran, Priscilla didiagnosa menderita kelainan saluran pembuluh darah di dekat jantungnya. Dalam dunia medis, penyakit ini dikenal dengan istilah persistent ductus arteriousus (PDA). Saluran tersebut seharusnya menutup secara otomatis ketika bayi lahir ke dunia ini, maksimal dalam waktu dua kali dua puluh empat jam. Lihat betapa besar keagungan Tuhan! Bukankah kita nyaris tidak pernah tahu kalau saluran itu ada, apalagi mendoakan agar saluran itu tertutup? Ketika berada di dalam kandungan ibu saluran itu memang  terbuka karena berfungsi untuk mengalirkan makanan dan oksigen dari ibu kepada sang janin. Sebagai catatan penting, untuk menutup saluran itu diperlukan biaya puluhan juta rupiah.

Ketika saya tanyakan kepada dokter berapa persen tingkat keberhasilan operasi anak kami, ia menjawab, "Sekitar 90! Namun ada kemungkinan lain yakni kalau tubuhnya tidak tahan terhadap bius, ia akan terus koma atau organ dalam tubuhnya yang masih begitu kecil mengalami infeksi setelah operasi."

Saat itu kami pun mengalami kegelisahan luar biasa. Sudah tidak terhitung berapa banyak air mata yang tumpah dan berapa banyak doa yang selalu kami panjatkan. Dengan penuh kasih dan harapan, saya memandangi wajah istri saya sembari berkata, "Dalam nama Tuhan saya akan menandatangi surat persetujuan operasi ini." Istri saya mengangguk perlahan sebagai tanda ia setuju.

Pengalaman kami dan bapak seperti yang saya sebutkan di awal cerita ini adalah sebuah pengalaman tentang pentingnya harapan dalam hidup. Mentor saya, Dr. John C. Maxwell berujar, "Where there is no hope in the future, there is no power in the present." Ya, jika tidak ada harapan akan hari esok yang lebih baik, tentu tidak akan ada kekuatan untuk hari ini.

Saya pernah membaca sebuah penelitian yang mengatakan seseorang dapat bertahan hidup selama empat puluh hari tanpa makan, empat hari tanpa minum, empat menit tanpa oksigen namun hanya empat detik tanpa harapan. Begitu orang kehilangan harapan, ia cenderung berpikir segalanya telah berakhir sehingga ia pun memutuskan untuk bunuh diri. Angka empat detik barangkali diambil dari lamanya waktu yang dibutuhkan untuk meloncat dari sebuah gedung tinggi hingga sampai ke tanah.

Harapanlah yang membuat orang berani mengambil risiko dan melangkah maju menuju hari esok yang lebih baik. "Jika dokter berani memutuskan untuk melakukan operasi itu berarti mereka masih memiliki harapan," kata seorang sahabat. Saya yakin itu benar, seberapa kecil kemungkinan operasi itu berhasil toh harapan tetap ada.

Puji Tuhan, operasi anak kami berhasil dan saat artikel ini ditulis, ia telah berusia dua tahun empat bulan. Ia tumbuh menjadi anak yang manis, lincah, aktif, ramah dan mau diajar. Anda bisa membaca kesaksian mengenai Priscilla secara lebih utuh dalam buku saya yang berjudul The Power of Hope (Elex Media Komputindo, 2007).

Pengalaman mengajarkan kami betapa pentingnya harapan dalam keseharian hidup manusia. Saat artikel ini saya susun, anak kedua kami (Timothy Stanley Winarto) yang baru berusia 11 hari sedang dirawat di rumah sakit karena kuning (hiperbilirubin). Sudah empat hari ia disinar di ruang perawatan bayi RS Borromeus, Bandung. Sebelum diopname di rumah sakit, Timothy sebenarnya sudah sempat pulang ke rumah selama dua hari namun keadaan berkata lain, ia harus kembali ke rumah sakit. Siang tadi, saat kami menjenguk, keadaannya sudah jauh membaik. Kemungkinan dalam beberapa hari ke depan, ia sudah boleh berkumpul kembali bersama kami di rumah.

Ayah kandung saya pun saat ini sedang dalam tahap pengobatan yang intensif lantaran berbagai macam penyakit, seperti pembengkakan jantung, penyempitan pembuluh darah otak, kolesterol tinggi, hipertensi dan batu empedu.

Hidup memang selalu naik-turun. Kadang di atas, kadang di bawah. Ketika sedang di atas, jangan pernah mabuk dan lupa diri. Namun ketika sedang di bawah, jangan pernah putus harapan. Harapan bagi saya, ibarat bahan bakar sebuah kendaraan bermotor. Sebagus apa pun kendaraan itu, jika ia tidak memiliki bahan bakar atau kehabisan bahan bakar tentu ia tidak akan dapat berfungsi, apalagi melaju dengan kecepatan tinggi. Martin Luther King pernah berkata, "When you lose hope you die!"

Seorang teman pernah bertanya kepada saya, apakah ada perbedaan antara orang yang optimis dan orang yang punya harapan? Saya ingin mengutip pernyataan Jonathan Sacks untuk menjawab pertanyaan ini, "Optimism is the belief that things will get better. Hope if the faith that, together, we can make things better. Optimism is a passive virtue; hope, an active one. It takes no courage to be optimist, but it takes a great deal of courage to have hope."

Dari pernyataan tersebut, kita bisa melihat bahwa ada perbedaan besar antara orang yang optimis yang orang yang berpengharapan? Orang yang berpengharapan memiliki keberanian untuk bertindak. Ia tidak menunggu keadaan membaik namun ia mau melakukan sesuatu agar keadaan membaik.

* Paulus Winarto adalah founder lembaga pelatihan non-profit HOT MINISTRY (www.hotministry.org). Ia merupakan pemegang 2 Rekor Indonesia dari Museum Rekor Indonesia (MURI) yakni sebagai pembicara seminar yang pertama kali berbicara dalam seminar di angkasa dan penulis buku yang pertama kali bukunya diluncurkan di angkasa. Sejumlah bukunya masuk dalam kategori best seller (al: First Step to be An Entrepreneur, Reach Your Maximum Potential, Be Strong, The Power of HOPE dan Melejit di Usia Muda). Ia banyak menimba ilmu kepemimpinan dari guru kepemimpinan internasional, Dr. John C Maxwell. Guru marketing Hermawan Kartajaya menjuluki Paulus sebagai "manusia kompleks". Paulus dapat dihubungi melalui e-mail: pwinarto@cbn.net.id atau www.pauluswinarto.com

No comments:

Post a Comment