Costumer Delightful

Sesuatu yang sudah jamak bagi sebuah organisasi usaha bilamana mereka menempatkan laba sebagai tolok ukur utama unjuk kerja organisasinya. Beda dengan organisasi sosial misalnya, dimana fungsi pelayanan lebih utama, dan faktor laba seolah hanya sebagai tolok ukur keberlangsungan organisasi itu dalam menghidupi dirinya sendiri. Tapi, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah bila sebuah organisasi usaha yang bisa mendapatkan labar yang besar, bisa dikatakan organisasi ini baik? Tak mudah menjawabnya. Karena saya yakin seorang pakar pun akan tidak bisa dengan mantabnya berkata ‘ya!’ tanpa melihat tolok-ukur tolok-ukur lain.
Terbukti era perdagangan saat ini, yang tentunya juga melibatkan pelaku organisasi usaha, ada istilah yang disebut ‘costumer satisfaction’, dengan berbagai metoda tolok ukur kuantitatif yang bisa selalu dilihat indeks pencapaiannya dari waktu ke waktu. Bila suatu saat turun, ada keinginan organisasi usaha itu untuk selalu memotivasi setiap lini fungsinya, agar meningkatkan indeks tingkat kepuasan pelanggan ini, entah itu pelanggan eksternal maupun internal, antar fungsi organisasi di dalam perusahaan itu sendiri. Walaupun misalnya pada kenyataannya neraca pertumbuhan finansial mereka bagus. Mengapa?
Hal inilah yang menurut saya sebuah pergeseran paradigma yang signifikan menjadi semacam penanda bahwa kita manusia adalah saling membutuhkan. Kita tidak bisa hidup sendiri di atas bumi ini. Kita harus menjadi bagian dari sebuah mata rantai ekosistem kehidupan, termasuk ‘ekosistem’ sosial-ekonomi. Manusia tidak hanya berpikir pada dirinya sendiri, tapi juga memikirkan orang lain, dan memikirkan keberlangsungan hubungan ‘diri sendiri-orang lain’ itu selanggeng mungkin. Kalau hanya fokus laba, maka besar kemungkinan hanya laba-lah yang didapat. Ketika hal-hal semacam ‘costumer satisfaction’ juga menjadi tolok ukur, maka selain laba diharapkan ada sebuah loyalitas. Dan loyalitas berarti jaminan akan keberulangan transaksi. Yang tentunya, ujung-ujungnya juga sebuah laba. Tidak hanya laba saat ini, tapi jaminan akan laba suatu saat nanti.
Namum memang belum tentu hal itu bisa masuk kedalam pemahaman pelaku di lapangan. Sangat tergantung bagaimana manajemen organisasi tersebut bisa menciptakan atmosfer kepuasan pelanggan kapada seluruh karyawan bahkan sampai level yang paling bawah. Saya bercerita hal ini karena kebetulan saya mendapat informasi mengenai hal yang mungkin rada aneh bisa juga terjadi. Sebuah perusahaan besar, manufaktur, distributor dan dealer kendaraan bermotor. Suatu ketika beberapa waktu lalu karena strategi promosi salah satu brand produk mereka, ada hadiah langsung yang diberikan pada setiap pembeliannya. Hadiah langsung berupa barang elektronik yang juga secara rupiah cukup berarti.
Ada orang yang beli produk kendaraan bermotor tersebut karena juga ingin mendapatkan hadiah. Tapi saya punya teman yang kebetulan membeli produk tersebut, karena memang menurut dia produk itu yang bisa memenuhi kebutuhannya. Dia juga kebetulan saat itu tidak tahu kalau pas dia beli, ada hadiah langsung yang menyertainya. Mustinya seorang ‘costumer service’ yang baik, dari awal sudah memberikan informasi mengenai hak teman saya ini, termasuk hak akan hadiah langsung tersebut. Tapi yang dilakukannya tidak demikian. Sang salesman seperti sengaja diam. Baru ketika beberapa hari berlalu sejak transaksi, teman saya tahu ada hadiah, dan ditanyakan ke outlet perusahaan tersebut, hadiah kemudian diberikan. Sepertinya sepele, tapi saya melihat hal ini sebagai hal yang serius ketika semua elemen organisasi usaha berkata mengenai costumer satisfaction.
Bahkan belakangan ini, ada mengemuka sebuah konsep mengenai ‘costumer delightful’. Lebih tinggi tingkatannya daripada ‘sekedar’ costumer satisfaction. Tidak perlu kita berpikir tentang yang besar-besar dulu, entah itu organisasi usaha, organisasi sosial, kita bisa melihat diri kita sendiri seolah sebagai sebuah organisasi. Dan siapa pun yang berinteraksi dengan kita adalah seorang ‘costumer’. Mustinya kita mampu mempraktikkannya menjadi semangat keseharian kita. Tinggal pertanyaannya,.. sampai di mana kita mau..?

31 Oktober 2009
Pitoyo Amrih, www.pitoyo.com

No comments:

Post a Comment