Cermin



Hati-hati bila anda menyampaikan suatu cela atau kritik terhadap seseorang, sebab cela atau kritik itu sebenarnya mengedepankan kelakuan anda sendiri yang seharusnya dicela atau dikritik.
Seorang teman kantor saya, E-en sangat "peka" mengkritik. Dia sering menanyakan pada saya mengapa saya tidak melarang seseorang karena makan kudapan ketika bekerja.

Masalah kudapan ini memang sudah merusak tata karma dalam kantor ketika bekerja. Banyak yang tidak menyadari bahwa makan sambil bekerja itu tidak terpuji, atau salah. Kartas bisa kena minyak, bahkan rontokan roti kadang terselip sampai berhari hari.

Dia juga pernah bertanya kenapa saya tidak menegur rekan sekantor yang pakai celana ketat sehingga tampak seksi atau memakai kaus pada waktu kerja. Juga dia sering protes karena merasa terganggu harus mengambil kartu absen ketika akan keluar gerbang waktu istirahat.
Tahukah anda apa yang dia lakukan ? Dia sering makan kudapan di tengah kerja sehingga saya tegur. Bahkan, begitu tanda masuk baru saja selesi berbunyi, dia membuka bungkusan dan makan pagi dengan cepat. Di kantor dia mengganti sepatu dengan sandal jepit karena merasa lebih praktis berlalu lalang. Dia "berlagak" meradang kepada Satpam karena lupa membawa kartu absen dan masih banyak pelanggaran yang dia lakukan.

Pernahkah anda memperhatikan perilaku rekan rekan di sekitar anda ?
Orang yang banyak bicara tanpa guna sebenarnya "membuka" rahasia kejelekannya sendiri.
A-an berkali-kali menganggap rekan laki-lakinya tergiur melihat bagian-bagian sensual wanita, padahal belum tentu rekan laki-lakinya itu tergiur. Dia membuka kedoknya sendiri bahwa sebagai wanita dia punya perlilaku mendua. Dia punya minat terhadap laki-laki maupun terhadap wanita. Dia sendirilah yang "tergiur" melihat teman wanitanya sendiri tampai seksi.

Cermin bangsa kita sebenarnya perlu disimak lebih mendalam. Tayangan televisi yang banyak dikritik kaum penjaga moral juga merupakan cermin moral yang berkembang di masyarakat kita.
Karena demikian enaknya produk tertentu, misalnya roti kering, maka iklan mengajarkan seorang anak merebut milik temannya. Secara moral, merebut milik pihak lain adalah perbuatan tercela. Karena enaknya, seorang anak bukannya memita, namum merebut.

Menghadapi masalah dengan mencari "jalan pintas" secara irasional ditampilkan secara memukau, diakhiri dengan suatu "statement" bahwa perbuatan itu janganlah ditiru karenasesat, sebaiknya mengambil jalan luhur secara agama.

Sebelum mentaati ajaran agama yang dianut, "kesesatan" ditampilkan secara "indah" dan dikemas indah. Bukankah ini juga merupakan cermin masyarakat yang ada di sekitar kita ?
Marilah kita menyadari diri kita sendiri, sudah sejauh manakah "cermin kehidupan" kita diumbar di tengah masyarakat sehingga kita jadi tercemar karena perilaku kita sendiri.

Cermin bangsa sudah ditampilkan, cermin diri kita sebaiknya kita jaga. Bukan sekedar menjaga agar keburukan kita tidak tersebar, namun bertekad memperbaiki diri sendiri serta bertekad untuk meninggalkan setiap perilaku tercela sehingga kita bersih dari cela.

Bukan karena "buruk rupa cermin dibelah", sebaliknya karena "buruk rupa cermin disayang" sehingga tampak segala keburukan yang wajib segera kita perbaiki.
Bagaimana kita memperbaiki masyarakat kalau tidak dari diri kita sendiri ? Biarlah gongongan serigala menakutkan namun karena kita punya iman dan taqwa maka gonggongan serigala akan terdengar indah. Gonggongan termaksud meningatkan kita agar tidak takut atas akibat perbuatan kita sendiri.

Jadikanlah cermin menjadi penjaga penampilan kita, seperti halnya cermin besar di setiap pintu masuk yang dapat dipergunakn untuk mengontrol penampilan kita.
Dengan demikian, sukses lahir batin senantiasa meyertai kita.

No comments:

Post a Comment