Jika Seharian Saya Tidak Melucu

Saya bersyukur dianugerahi Tuhan bakat mudah melucu. Saya tegaskan, saya sebetulnya tidak lucu, cuma mudah melucu. Dari sisi tampang, saya lebih tepat disebut pemurung, kalau tidak terlalu kasar untuk disebut memelas. Karena kemudahan inilah sebagian kalangan menyebut saya sebagai lucu, sebutan yang sebetulnya mendatangkan banyak beban.
Tidak setiap kemudahan itu selalu mudah karena kadangkala malah mendatangkan kesulitan. Teman saya yang bertubuh jangkungjustru selalu menjadi orang suruhan di setiap kesempatan ketika tinggi badan sedang jadi hambatan. Diminta mengambilkan ini, menyantolkan itu, atau menjangkaukan sesuatu. Karena dianggap gampang mencari uang maka kepadanya orang cenderung berhutang dan minta sumbangan. Karena berwajah rupawan seseorang jadi mudah tergoda dan rawan perselingkuhan. Karena dianggap lucu, setiap saat saya diminta untuk menghibur orang.
Permintaan secara terus terang sebetulnya tidak ada. Tetapi permintaan diam-diam itulah yang terus saja berdatangan. Sejak mahasiwa saya sudah sering ditanggap di berbagai forum diksusi kecil-kecilan. Apakah karena saya pintar? Tidak. Nilai rata-rata saya di kampus cuma cukup untuk lulus. Itupun lulus pas-pasan.Undangan itu datang pasti karena anggapan sebagai orang lucu itu. Tetapi sekali lagi, anggapan itu sebenarnya keliru. Karena jika boleh, mestinya saya lebih memilih tidak melucu. Jika di dekat saya telah ada orang lucu, saya akan dengan gembira berada di dekatnya meletakkan peran ini dan langsung nebeng tertawa. Jauh nian beda antara pihak yang tinggal tertawa dan pihak yang harus membuat tawa. Menjadi sekadar yang tertawa seperti orang kelaparan yang kepadanya disodorkan makanan kesukaan. Tetapi menjadi pembuat tawa, seperti koki, yang betapapun enak masakannya, ia telah lebih dulu mual oleh pengap asapnya. Jadi jika boleh memilih, kedudukan sebagai pihak yang sekadar tertawa pasti lebih menyenangkan.
Tetapi hidup memang tidak boleh memilih cuma apa yang kita suka. Karena lalu siapa nanti yang harus mengerjakan soal-soal yang kita tdak suka, tetapi amat dibutuhkan dalam hidup. Kerja bakti dan jaga malam adalah soal tidak saya sukai, tetapi ia dibutuhkan kampung saya. Menunggu adalah pekerjaan menjengkelkan, apalagi menungu cuma untuk disuntik misalnya. Tetapi semua itu dibutuhkan bagi kesehatan. Melucu memang melelahkan, tetapi ia dibutuhkan untuk kegembiraan, setidaknya bagi keluarga saya. Karena pernah suatu hari saya menuruti kelelahan ini dan sama sekali tidak melucu seharian, rumah saya jadi terasa sunyi. Anak-anak menganggap bapaknya sedang susah, istri mengira suaminya sedang marah. Padahal sungguh tidak ada apa-apa. Hanya ingin istirahat saja. Tetapi dunia di rumah saya seperti berhenti berputar hanya karena saya menghentikan salah satu kebiasaan.
Keluarga jadi kehilangan separo kegembiraannya. Istri memasak sambil terdiam. Anak-anak yang biasanya belajar sambil menyanyi kini belajar sambil membisu. Mereka sesungguhnya tidak sedang belajar, tetapi sekadar membolak-balik buku. Televisi juga lupa dinyalakan. Sesisi rumah sepi-senyap karena semua sedang sibuk dengan kemurungannya sendiri-sendiri, cuma karena sebuah fungsi lupa dijalankan. Pada saat itulah, saya menyadari bahwa melucu adalah tugas. Dan ketika tugas itu kembali saya jalankan dengan cara sederhana: misalnya cuma berjoget di depan kaca, seisi rumah langsung menemukan kembali barangnya yang hilang.
Prie GS

No comments:

Post a Comment