What You See is Not What You See

Wajahnya terlihat garang, sorot matanya juga memancarkan sebuah pengalaman hidup yang keras. Seseorang dengan potongan cepak, terlihat parut luka di dagunya. Tubuhnya gempal berotot, memakai baju lengan pendek yang ketat, sehingga sangat jelas terlihat hiasan tato di lengannya yang kekar itu. Memesan makanan pada seorang penjual bakmi dengan suara yang lantang. Mungkin memang demikian cara bicaranya. Sebuah pemandangan yang saya yakin hampir semua orang akan sepakat kira-kira profil seperti apa orang ini. Mungkin ada yang langsung menyebutnya seorang preman dan menilai dia sebagai seorang yang keras, kasar, dan tidak begitu menghargai orang lain.

Tapi apa yang membuat saya kemudian menuliskan apa yang saya lihat saat itu, adalah, ketika pikiran saya tergiring kepada definisi seorang preman, apa yang saya lihat saat itu menjadi sebuah pemandangan yang ganjil. Si tubuh kekar wajah garang ini, dengan sabar dan santun menuntun seorang tua yang berjalan tertatih-tatih. Saat itu saya sedang menikmati makanan di sebuah warung bakmi, ketika kemudian sebuah mobil merapat di sisi warung di tepi jalan, seorang kekar berwajah garang, yang saya ceritakan tadi, keluar dari pintu pengemudi, bergegas setengah berlari menuju pintu depan kiri, membukanya, dan menuntun seorang tua itu. Keluar dari mobil, berjalan perlahan mengikuti irama jalan si orang tua, tanpa sama sekali menunjukkan wajah kesal atau buru-buru, sambil berteriak memesan makanan, menuju meja yang berseberangan dengan tempat saya duduk, sehingga saya dengan leluasa bisa melihat setiap gerak gerik mereka.

Walaupun saya sadar, mungkin kurang sopan bila saya mencuri dengar pembicaraan mereka, tapi kata-kata yang keluar dari mulut si kekar begitu menarik perhatian saya, untuk berusaha memahami pemandangan yang tidak biasanya itu. Si orang tua tertatih yang kemudian duduk dan berkata-kata terbata karena usia, sepertinya adalah ayah si kekar. Sementara si kekar dengan wajahnya yang keras, diam seperti berusaha mendengar setiap kalimat si orang tua. Sampai kemudian telepon genggam si kekar berdering, diangkatnya, sejenak diam dengan mimik wajah serius mendengarkan sang penelepon di seberang sana, kemudian dengan tegas memotong, “.. nanti saja saya telepon,.. saya lagi ngantar bapak saya..!!”

Banyak pelajaran dari yang saya lihat saat itu. Yang paling utama adalah, apa yang saya lihat saat itu telah membongkar paradigma yang mencirikan seorang dengan cara atas apa yang hanya terlihat. Karena kalau kita mau jujur, terkadang kita terjebak untuk langsung menghakimi atas apa yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan. Tanpa melihat kemungkinan bahwa bisa jadi, apa yang kita lihat itu tidak seperti kenyataan menurut gambaran gambaran kita. What you see is not what you see

Lebih dari itu, kita bisa sampai kepada sebuah pendapat bahwa, sebenarnya, apa pun yang kita lihat, dengar dan rasakan bisa menjadi sebuah pelajaran. Siapa yang menduga, bahwa seseorang yang berpenampilan preman bertato, ternyata begitu sayang menemani bapaknya dimasa tuanya. What you see is not what you see

Sembari makan tidak berhentinya saya sambil terus berpikir dan merenung. Sampai kemudian si orang muda kekar dan orang tuanya itu beranjak pergi, dalam hati saya harus berterima kasih kepadanya. Atas apa yang saya lihat, bahwa apa yang tampak belum tentu itulah yang sebenarnya. Andai saja banyak orang yang bisa melihat apa yang saya lihat malam itu, mungkin akan banyak orang yang belajar untuk tidak mudah menghakimi, didasari hanya karena atas apa yang mereka lihat…
Pitoyo Amrih
Bersama Memberdayakan Diri dan Keluarga

No comments:

Post a Comment