Duplikasi Perasaan

Saya beruntung mengenal bermacam-macam penderitaan. Kenyataan itu membuat saya mudah untuk menduplikasi perasaan atas pihak lain yang tengah senasib dan sependeritaan. Misalnya, karena kemiskinan kami, Ibu harus banting tulang sedemikian rupa dan berjualan apa saja di pinggir-pinggir jalan. Ibu pernah berjualan nasi tiwul di ujung sebuah jembatan. Jembatan itulah yang kini sering saya datangi, saya suka berhenti berlama-lama di sana, tak jarang dengan air mata berhamburan. Ibu sudah lama tiada tapi deritanya itulah yang membentuk hidup saya hingga hari ini.
Hanya, seluruh usaha ibu yang kini saya agungkan itu, adalah usaha yang dulu membuat saya malu. Saya malu dengan nasi tiwul ibu yang terbuat dari gaplek itu. Saat itu, nasi tiwul malah cuma jadi penegas kemiskinan kami. Jika di jalan saya ketemu Ibu pulang dari pasar dengan naik dokar, saya lebih memilih tetap jalan kaki. Dokar adalah kendaraan yang amat tidak bergengsi menurut akal saya saat itu. Di hari ini, saya bisa setengah mati menyesali sikap yang nyaris durhaka ini. Tetapi di saat itu, pasti berat sekali bagi seorang anak yang lapar untuk memiliki pikiran waras karena perut melulu berbunyi. Jadi ada derita objektif dan ada pula derita subyektif. Kemiskinan kami adalah derita jenis pertama. Tetapi usaha Ibu itu pasti bukan derita, melainkan sebuah keteladanan. Jadi mestinya saat itu saya tak terlalu menderita karena selain derita saya masih memiliki keteladanan.
Karenanya saya ingin anak-anak yang punya derita serupa, tidak mengulangi kesalahan saya ini. Di rumah saya sekarang sering datang pedagang keliling; sepasang suami istri dengan anak gadisnya. Dari seluruh dagangan yang mereka bawa, memang cuma menegaskan kemiskinannya. Tapi jangan lupa, seluruh usaha mereka itu, juga menegaskan keteladanan yang pernah diperagakan oleh Ibu saya itu.
Saya sungguh menaruh hormat kepada pedagang yang gigih mempertahankan hidup ini. Saya selalu membeli dagangannya walau sebetulnya tak membutuhkannya. Tetapi kepada mereka ingin saya tunjukkan, betapa akan selalu ada orang yang menaruh rasa hormat kepada semua jenis kerja keras, ketabahan dan sikap gagah di hadapan keterbatasan. Jadi tak pelru ada penderitaan yang harus disambut dengan kecil hati, jika kita punya mental gagah. Di mata saya, seluruh tampilan orang ini, saya lihat dari sudut keteguhan mereka, bukan dari kemiskinan mereka. Kedatangannya selalu saya rayakan dalam hati dan kemiskinan mereka tak saya gubris sama sekali.
Tetapi saya melihat putrinya itu, adalah anak yang bersembunyi setiap kali. Ia selalu berlindung di balik tubuh bapak-ibunya dan matanya adalah mata seorang anak yang takut dan malu. Ia amat suka menyelinap di balik semak-semak depan rumah agar saya kesulitan melihatnya. Saya suka mencuri-curi pandang ke arahnya, dan setiap ada usaha untuk memandangnya, hanya akan membuat ia makin gelisah belaka. Anak itu seperti memilih hilang ditelan bumi jikalau bisa. Pandangan saya atas keadaannya, pastiderita tak terkira.
Itulah keadaan yang saya alami dulu. Menemani Ibu pulang dari pasar dengan bakul besarnya di punggung, dengan sisa nasi tiwul di dalamnya adalah siksaan batin luar biasa. Apalagi jika perjalanan kami harus melewati sekolah. Saya merasa seluruh anak-anak, seluruhguru, dan seluruh isi dunia menonton saya. Rasanya lebih baik lenyap entah ke mana katimbang harus menanggung perasaan seperti itu.
Saya tahu betapa keliru perasaan ini. Saya tahu mestinya saya bangga pada Ibu. Saya tahu, tetapi pasti tidak di hari itu. Untuk mengerti, saya butuh waktu hingga hari ini. Maka kepada putri pedagang keliling yang sedangmalu itu, saya tak memintanya untuk mengerti secara buru-buru. Tapi semoga ia tak harus menunggu lama, selama saya menunggu.
Prie GS

No comments:

Post a Comment