Antara Anugrah Dan Bencana




Agak seperti judul sebuah film, tapi begitulah saya menyimpulkan topik hangat yang saat ini menjadi pembicaraan bapak-bapak warga di lingkungan tempat saya tinggal. Hampir selalu ketika kami kumpul, entah itu saat ronda, saat pertemuan warga, dua minggu terakhir ini selalu diisi pembicaraan dan diskusi atas sesuatu yang menimpa lingkungan perumahan tempat saya tinggal dua minggu lalu.
Setahun lalu, menurut analisanya adalah banjir terbesar yang terjadi di Solo sejak banjir besar tahun 1965. Lebih dari separuh wilayah ex karesidenan Surakarta terendam banjir. Dan kami harus bersyukur pada saat banjir besar tahun lalu, hal itu tidak masuk menimpa pemukiman perumahan tempat saya tinggal. Namun aneh memang, tahun ini, banjir kembali melanda Surakarta dan sekitarnya, tidak separah tahun lalu, tapi air itu masuk ke perumahan kami. Di jalan depan rumah saya sampai setinggi lutut, masuk ke rumah kira-kira lima centimeter-an.
“… ini pertanda kita manusia sudah banyak dosanya..!”, salah seorang bapak tetangga saya mengemukakan pendapatnya. “..ah! Ini akibat diantara kita tahun kemarin ada yang pongah dan sombong, karena tidak kena banjir,.. jadinya tahun ini kita digilir juga..” sergah yang lain. “..buang sampah sembarangan adalah sebab utamanya..”, seorang bapak lain yang tampak mencoba ilmiah mengemukakan pendapatnya.
“.. bapak-bapak kok ya nggak merasa, ini itu anugrah, sebuah hadiah kepada kita,.. bersyukurlah kalau kita juga diberi hadiah seperti ini, agar kita selalu diingatkan, pertanda Tuhan masih mencintai kita..”, sementara bapak yang lain mencoba memandang dari sisi lain atas apa yang terjadi.
Saya sendiri berpendapat bahwa banjir adalah banjir. Memang demikianlah air dicipta oleh Sang Pencipta memiliki sifat yang begitu jujur, dan begitu rendah hati. Jujur bahwa dia akan selalu mengikuti bentuk wadahnya dimanapun dia diletakkan, jujur bahwa dia akan tetap memilih menggenang bila tak ada tempat untuk meresap, jujur bahwa dia akan tumpah dan luber bila sungai yang menampung menjadi jalannya tidak cukup menampungnya. Air yang selalu jujur ‘berkata’ kepada kita manusia bahwa bila kita selalu saja merusak hutan, menutupi daerah resapan, buang sampah sembarangan. Dan air juga rendah hati, dimanapun kemanapun dia akan selalu mencari tempat yang paling rendah.
Tapi sebagian orang mungkin bertanya, kenapa saya yang didatangi banjir? Mengapa tidak khusus kepada orang yang suka menggunduli hutan saja? Mengapa tidak khusus kepada orang-orang yang suka membuang sampah ke sungai saja?
Nah!! Inilah istimewanya aturan main kita manusia sebagai makhluk Tuhan yang dihidupkan untuk sejenak menggores sejarah bagi kurun waktu perjalanan alam semesta ini. Setiap hal, setiap kejadian, sedih dan gembira, membanggakan atau menyesakkan, membuat tertawa atau menangis, kita akan selalu bisa melihatnya dari dua sisi yang saling berlawanan. Apakah itu sebuah anugrah ataukah bencana.
Begitu Maha Adil Sang Pencipta, bila saja itu semua kita pandang sebagai sebuah anugrah –misal dengan melihat hal itu sebagai sebuah peringatan karena pertanda bahwa kita masih dicintai oleh-Nya-, maka anugrah itu diberikan merata kepada kita manusia. Juga Maha Adil Sang Pencipta, bila saja itu kita anggap sebagai bencana –hukuman, dsb-,maka yang dihukum tidak hanya yang melakukan secara langsung –merusak alam misalnya-, tapi juga kita semua kita kita orang-orang yang diberi akal untuk berpikir masih juga membiarkan saudara-saudara kita melakukannya.
Kita manusia memang memiliki cara pandang yang serba terbatas. Sehingga kadang masih ada tembok besar yang menghambat kita untuk selalu bersyukur atas apa yang kita peroleh saat ini. Mungkin ada baiknya belajar memahami jalan pikiran anak saya. Ketika lewat tengah malam itu air mulai masuk perumahan dan mulai meninggi, anak saya perlahan saya bangunkan. Saya jelaskan apa yang terjadi, dan kita bersiap untuk menyelamatkan barang ke lantai atas. Tanpa ada ekspresi takut diwajahnya, anak saya berkata, “pah, aku boleh main air diluar..?”. Nah..! 

12 Februari 2009
Pitoyo Amrih
www.pitoyo.com
Bersama Memberdayakan Diri dan Keluarga

No comments:

Post a Comment