Bandingan Derita

Pertolongan bisa juga muncul lewat perbandingan. Misalnya kopor yang tertinggal karena pesawat yang saya tumpangi lalai membawa serta. Jelas ini adalah derita jika tolok ukurannya adalah rasa kecewa.Makin beragam isi kopor saya itu, pasti makin beragam rasa kecewa saya. Makin berharga isi kopor itu, makin tinggi kekecewaan saya. Saya bayangakan, kalau isinya adalah emas batangan, maskapai ini bisa saya gugat di pengadilan. Tetapi karena kopor itu hanya berisi pakaian, beberapa malah pakaian kotor, maka beda pula reaksi saya. Jadi, isi kopor saya sangat menentukan kadar kekecewaan saya.

Tetapi baiklah, anggap kopor itu lebih darisekadar berisi pakaian, tetapi juga ada aneka barang yang saya sangat berkepentingan. Atau setidaknya, betapapun ia kopor kosong, saya tetap bisa uring-uringan terhadap manajemen maskapai yang buruk, pelayanan yang kurang dan cerobohnya sebuah manajemen dalam mengontrol detail persoalan. Jadi bukan lagi isi kopor lagi yang jadi bandingan melainkan budaya korporasi sebuah perusahaan. Demi melihat zaman sudah begini sengit pesaingan tapi masih begiti mudah ditemui sebuah kecerobohan perusahaan, ini bisa menyulut cibiran. Jadi, dengan apa kita membandingkan, terbukti sangat mempengaruhi reaksi apa yang akan diputuskan.

Pilihan reaksi itu amat luas wilayahnya. Ia seperti etalase pasar swalayan yang penuh barang dan kadangkala malah membingungkan. Maka pembeli reaksi ini harus membeli tak ubahnya belanja kebutuhan. Belilah yang paling Anda butuhkan, bukan yang Anda inginkan. Jika menuruti keinginan, saya bisa tergerak menjadi pengotbah manajemen bagi perusahaan yang teledor ini, atau jadi pemaki yang kasar mentang-mentang saya merasa sebagai pelanggan. Tetapi sebetulnya, kebutuhan soal itu sejatinya tidak mendesak, kecuali jika saya bermaksud membesar-besarkan persoalan. Kebutuhan saya yang paling mendesak dari berpegian ternyata adalah pulang. Harga sebuah kepulangan itu, dengan bertemu keluarga sebagaipuncaknya, pasti tak ternilai harganya, apalagi jika cuma dibandingikan dengan kopor bersisi pakaian kotor. Lagipula kopor itu tidak hilang, melainkan cuma sedang tertunda datang.
 

Padahal kepulangan saya ini nyata, saya kembali bertemu keluarga. Padahal pesawat yang saya tumpangi itu jenis pesawat kecil dengan teknologi tua, masih dengan baling-baling yang jika terguncang sedikit saja, akan sangat terasa. Jika bandingannya adalah pesawat modern, saya ngeri naik pesawat ini. Tapi jika bandingannya adalah ketiadaan, beda lagi rasanya. Tak peduli seberapapun tua pesawat ini, inilah satu-satunya pesawat yang memungkinkan saya menempuh rute ini dengan waktu sesempit ini. Cuma pesawat ini. Lain tidak ada. Jadi, katimbang melihat dengan rasa ngeri, saya melihat pesawat ini dengan rasa haru dan empati. Ia memang pesawat tua, tetapi satu-staunya yang siap melayani, batin saya. Dan anehnya, pesawat baling-baling ini tenang sekali terbang di langit tinggi, karena kebetuklan udara memangcerah sekali. Guncangan yang saya ramalkan itu tidak terjadi. Maka teori bandingan itu muncul lagi. Untuk terguncang, ternyata tidak tergantung besar dan kecilnya pesawat, tetapi sangat tergantung pada langit. Dan di hadapan langit, pesawat paling besar sekalipun tak akan punya banyak arti kalau memang sedang ingin mengguncang.

Bayangkan, pesawat tua ini sudahbegitu berjasa mengantarkan saya pulang. Kenapa saya tidak berterimakasih kepadanya dan kenapa sekadar kopor tertinggal saja saya izinkan mengganggu rasa syukur saya.

 
__________________


[Prie GS adalah seorang budayawan dan penulis buku "Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia". Saat ini, ia tinggal di Semarang, Jawa Tengah.] 

No comments:

Post a Comment