Menggembosi Amarah

Sebelum listrik tiba, penerangan di rumah kami adalah jenis lampu teplok. Di lain tempat, beda lagi namanya. Tapi apapun sebutannya, inilah lampu dengan minyak tanah sebagai bahan bakarnya, dengan tabung kaca sebagai penutup nyala yang jamak digunakan sebelum listrik masuk desa.
Di antara era teplok dan listrik, sempat pula hadir zaman lampu pompa. Lebih terang nyalanya, tetapi lebih rakus minyak, kerenanya lampu ini terbiasa menyala cuma di rumah-rumah orang berpunya. Tetapi tetangga paling kaya sekalipun tidak pernah menyalakan lampu ini semalaman melainkan cukup hingga hingga menjelang tengah malam saja.
Jika lampu ini mati, lampu teplok itu pula yang kembali mengambil peran. Dialah yang bertugas menyaa semalam suntuk. Jika jam tidur sudah tiba, ia dinyalakan, sambil sumbunya dikecilkan. Bagi penggemar tidur di kegelapan, si teplok ini tidak harus dimatikan, tetapi di kacanya cukup diselipkan kertas penghalang. Ia masih terlihat terang, tetapi tidak cukup menyilaukan.
Jadi ada tiga tahapan terang pada diri lampu teplok ini. Membesarkan, mengecilkan dan memberinya penghalang. Kegiatan membesarkan dan mengecilkan itulah yang saya kenang. Malam ketika listrik belum menyala adalah malam yang begitu gelapnya. Tetapi kegelapan yang pekat itu, adalah sekaligus pekat yang ramah pada cahaya. Karena gelapnya, bahkan cahaya kunang-kunang di kejauhan pun terlihat begitu terang.Malah untuk mengerti siapa yang berjalan nun di kejauhan, cukup dilihat dari nyala rokok yang dihisap seseorang. Jika nyala rokok itu berkelebat cepat (dan itu jelas sekali di gelap malam), oo, itu pasti Kang Tukiman, karena memang serba cepat itulah gayanya berjalan. Karenanya, di tengah malam yang gelap dan sepi, nyala lampu teplok pun telah terlihat sangat benderang.
Entah kenapa kegiatan membesarkan, mengecilkan dan memberi penghalang lampu ini di masa lalu, masih lengket hingga sekarang. Bukan cuma lengket, tetapi malah melebar ke lain jurusn, yakni terhubung dengan "kemarahan". Terutama kemarahan-kemarahan hidup saya yang ternyata, besar kecilnya, tergantung apakah ia dibesarkan atau dikecilkan.
Pernah sekali, istri memasak sayur kurang garam, saya lalu membesar dalam kemarahan. Argumentasi saya: sudah sekian kali saya meminta, tetapi garam itu tetap kurang juga. Ini sungguhrasa abai yang luar biasa. Perasaan diabaikan dan diremehkan itulah yang saya bayangkan, dan ia bisa saya ternak sedemikian rupa. Padahal cukup hanya dengan sayur kurang garam, saya memiliki alasan untuk bertengkar dengan istri habis-habisan.
Tetapi teknologi lampu teplok ini mengingatkan saya, bahwa api di dalamnya bisa dibesarkan bisa dikecilkan. Begitu juga dengan api kemarahan. Karena seluruh alasan saya untuk marah itu, akan selesai cukup dengan obat sederhana yakni, cuma kurang garam, apa susahnya ditambahkan! Jadi semua soal-soal yang tampaknya serba besar itu akan mengecil dengan sendirinya cukup ketikadi hadapannya ditambahkan kata ‘'cuma''. Kini, meskipun listrik sudah menyala siang malam, saya ingin menyimpan sebuah lampu teplok di rumah saya sebagai kenangan.
[Prie GS adalah seorang budayawan dan penulis buku "Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia". Saat ini, ia tinggal di Semarang, Jawa Tengah.]

No comments:

Post a Comment