Para Pengomel

Pernahkah Anda melihat pribadi pengomel? Setiap kali, karena pribadi itu bisa jadi Anda sendiri, saya pasti tak terkecuali. Selain pernah melihat orang yang tertolak karena kegemarannya mengomel, saya juga pernah menjadi pribadi tertolak karena kegemaran saya mengomel. Termasuk dalam barisan omelan ini adalah sikap murung, lesu, dengki, sial, kalah, tertekan, teraniaya, kesepian, frustrasi, sumpek, gerah, marah....

Seluruh kata itu bukan hampir semuanya kita akrapi karena ia kita hidupkan setiap kali. Tak kita butuhkan musibah-musibah besar untuk menghidupi kata-kata ini. Ia subur bahkan dengan pupuk murahan seperti misalnya nonton televisi. Seorang ibu bisa marah-marah hebat hanya karena melihat bintang sinetron cerai dan saling memaki padahal baru kemarin ia menggelar pesta yang kemewahannya mendorong ibu yang sama melongo dibuatnya.

Padahal cuma butuh langkah sederhana untuk menghentikan omelan ini: matikan televisi! Tetapi hebatnya, sementara mulut mengomel, mata justru semakin dalam terpaku pada sumber omelan. Jadi, banyak orang sakit menjadi lebih sakit karena kegemarannya malah mendekati penyakit. Seluruh selebriti di dunia boleh bercerai, tetapi dunia ini pasti baik-baik saja. Karena selain kabar sedih yang dibawa, pasti ada kabar gembira sebagai ikutannya. Wartawan jadi punya berita, tabloid laris dan pengadilan agama sibuk padahal sibuk itu pasti sehat.

Istri saya juga tak terkecuali. Cuma dengan mendengar berita bahwa Ketua KPK Antasari Azhar ditetapkan sebagaitersangka tiba-tiba ia gelisah tanpa alasan yang jelas cuma gara-gara kumis saya dan kumis Antasari dianggap sama tebalnya. Guyon? Tidak. Ini serius, karena istri saya kemudian membayangkan sebuah drama yang ia sutradarai sendiri.

‘'Jika kumisnya sama, jangan-jangan kelakuannya sama. Jika kelakuan saya jangan-jangan nasibnya juga sama. Jika nasibnya sama jangan-jangan....'' Terus... penyutradaraan itu akan mengembang sesuai dengankreativitas kita sendiri. Imajinasi, mau membangun mau merusak, sama kuatnya. Padahal begitu saya yakinkan bahwa ‘'kumis boleh sama tetapi nasib bisa berbeda,'' mulai berbeloklah imajinasi istri. Kata ‘'beda'' itu kemudian juga membawa imajinasinya berjalan ke arah yang berbeda dengan melihat suaminya sebagai figur yang menyenangkan. Ada memang dari diri saya ini sisi yang menjengkelkan yang istri saya hafal di mana, tapi pasti ada pula sisi hidup saya yang menyenangkan dan ia juga tahu terletak di sebelah mana. Kecepatan pikiran untuk berpindah dari satu sisi ke sisi lainnya itu adalah kemampuan yang mutlak harus dimiliki manusia jika hidupnya tidak ingin terpenjara oleh sikap uring-uringan sepanjang masa.

Lalu inilah logikanya: pihak yang sedang mengomel itu, pasti adalah pihak yang terlalu lama berhenti di sebuah perasaan saja. Kelemahan saya misalnya, suka jengkel berlama-lama hanya karena sambal istri kurang enak seperti biasa. Tapi apa jadinya jika pada saat yang sama ada telepon dari Presiden: ‘'Halo, saya Presiden Indonesia. Saya menugaskan dengan hormat saudara Prie GS mulai bulan depan, sudilah kiranya mengemban tugas negara sebagai Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan sekaligus merangkap sebagai Jaksa Agung. Saya percaya, di tangan saudara, kehidupan bernegara pasti akan lebih baik. Jadi pliss...!''

Bisa Anda tebak apa reaksi saya? Istri yang menjengkelkan itu pasti akan saya peluk sejadi-jadinya. Bayangkan jabatan Menteri Koordinator Ekonomi dan Keuangan sekaligus Jaksa Agung adalah jabatan rangkap yang belum pernah ada dalam sejarah. Apalagi ketika prestasi saya baik, tak sulit kelak untuk sekaligus merangkap sebagai Ketua PKK. Tapi apakah saya perlu kabar sedramatik itu baru saya bisa bergembira? Tidak. Karena menyadari kuping saya masih utuh jumlahnya saja, pasti akan mendatangkan rasa syukur. Jadiberpindah perasaan itu hanya soal pilihan karena baik perasaan yang menjengkelkan maupun menyenangkan sama-sama disediakan.
Prie GS

No comments:

Post a Comment