Kemuliaan Dini

Periode mabuk, setiap kita memilikinya, tak terkecuali anak-anak, termasuk anak lelaki saya yang masih SD ini. Setelah mabuk mobil-mobilan, mabukSpiderman dan mabuk robot, kini ia mabuk kartu. Setiap kemabukan barudatang ia akan menganggap mabuk lama adalah dunia yang layak dihapus dari ingatan.
Pada saat kejayaan Spiderman, tak ada hari tanpa topeng. Tapi kini, topeng itu menjadi aibnya. Setiap diingatkan tentang hari-hari dengan kostum Spiderman balitanya, ia marah luar biasa.
Tetapi kini, apa saja tentang kartu menyedot perhatiannya. Kartu bergambar yang entah apa namanya dan apa fungsinya itu, hanya dia dan teman-temannya yang tahu. Ke mana-mana, ia membawa album kartunya. Dan terakhir saya dengar, kartu itu makin menjadi koleksi berharga, semakin langka edisinya, semakin mahal nilainya. Tentu bagi mereka. Maka saling tukar kartu sesama kolektormenjadi jamak jika sama cocoknya. Anak saya tampaknya juga terlibat dengan transaksi pertukaran koleksi ini.
Ia tampak sangat gembira dengan hasil pertukaran itu sementara rekan bisnisnya tidak. Teman itudiam-diam menyesali keputusannya tetapi malu untuk menarik kembali kartunya, apalagianak saya juga keberatan jika harusmengembalikan.Jadi, hasil pertukaran ini lebih banyak menggembirakan anak saya dan menyusahkan anak tetangga. Sungguh keadaan yang kurang enak.Apalah artinya kartu, jika pertaruhannya adalah persahabatananakdan kekerabatan orang tua. Maka membujuk anak untuk mengembalikan kartunya adalah cara termudah dengan hasil yang pasti mulia pula.

Tapi yang mudah bagi orang tua ini, ternyata adalah soal yang amat sulit bagi anak. Karenanya penting sekala menggaris bahawahi bahwa kemudahan orang tua ternyata malah seringberartikesulitan bagi anak. Ketika kepada anak saya itu saya jejalkan bermacam-macam kotbah tentang kemuliaan, tentang perbuatan baik, tentang pentingnya meremehkan kartu, dan mementingkan kebahagiaan teman, ia bukan cuma semakin bertahan, tetapi juga tampak sangat marahdan merasa ditekan dari segenap jurusan. Dari bapaknya, ibunya, kakaknya.... Semua menekan untuk sebuah soal yang dia merasa tidak berhak dipersalahkan. Pertukaran itu menurutnya berlangsung legal, adil dan transparan. Perkara setelahnya ada pihak lain kecewa, itu lain urusan. Begitulah paham anak ini dan itulah paham yang menurut saya benar tapi tidak ideal. Betapapun, dibanding kartu, persaudaraanpastijauh lebih penting.
Tetapi demi melihat cara anak saya ini bertahansaya menghentikan bujukan. Ada kemarahan terpendam yang saya tangkap dari suaranya yang mulai bergetar. Inilah suara pihak yang merasa tidakbersalah tetapi dipersalahkan itu. Anjuran untuk menjadi mulia itu, barus saya sadari, penting sayaperkenalkan tetapi tidak boleh saya paksakan. Saya baru ingat, dorongan memuliakan persahabatan semacam ini bisa saya anjurkan setelah umursaya hampir 50 tahun sementara anak itu barusebelas tahun.

Beruntung bahwa ia pertukaran kartu itu berlangsung dengan cara yang sah. Pada seumurya,saya malah pernah merebut begitu saja makanan yang dibawa teman. Teringat hingga hari ini, bagaimana teman saya itu meraung-raung kesetanan dan anehnya, saya sama sekali tidak sedikitpun merasa bersalah. Rasanya, saat itu, di benak kanak-kanak saya, memang tidak berniat berbuat jahat. Saya hanya sangat menginginkan makanan itu di saat perut saya sedang lapar luar biasa.Butuh hampir waktu 50 tahun bagi saya untuk berubah dari anak perebut makanan menjadi seseorang penganjur kebaikan.
Selalu ada sisi mulia pada diri setiap manusia, tetapi ia butuh muncul tepatpada waktunya..

_________________

[Prie GS adalah seorang budayawan dan penulis buku "Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia". Saat ini, ia tinggal di Semarang, Jawa Tengah.]

No comments:

Post a Comment