Dampak Penggunaan Antibiotik Yang Irasional


KOMPAS.com – Penggunaan atau pemberian antibiotik sebenarnya tidak
membuat kondisi tubuh semakin baik, justru merusak sistem kekebalan
tubuh karena imunitas anak bisa menurun akibat pemakaiannya. Alhasil,
beberapa waktu kemudian anak mudah jatuh sakit kembali.
Jika pemberian antibiotik dilakukan berulang-ulang, ujung-ujungnya
anak jadi mudah sakit dan harus bolak-balik ke dokter gara-gara
penggunaan antibiotik yang tak rasional.
“Kenyataannya, kita ‘boros’ dalam menggunakan antibiotik sehingga bisa
menimbulkan dampak buruk antara lain sakit berkepanjangan, biaya yang
lebih tinggi, penggunaan obat yang lebih toksik, dan waktu sakit yang
lebih lama,” sesal dr Purnamawati S Pujiarto, SpA (K), MMPed, yang
akrab disapa Wati ini.
Selain itu, ada beragam efek yang mengancam bila anak mengonsumsi
antibiotik secara irasional, di antaranya kerusakan gigi, demam,
diare, muntah, mual, mulas, ruam kulit, gangguan saluran cerna,
pembengkakan bibir maupun kelopak mata, hingga gangguan napas. Bahkan,
berbagai penelitian menunjukkan, pemberian antibiotik pada usia dini
berisiko menimbulkan alergi di kemudian hari.
Dampak lain akibat pemberian antibiotik irasional adalah gangguan
darah di mana salah satu antibiotik seperti kloramfenikol dapat
menekan sumsum tulang sehingga produksi sel-sel darah menurun. Risiko
kelainan hati muncul pada pemakaian antibiotik eritromisin,
flucloxacillin, nitrofurantoin, trimetoprim, dan sulfonamid.
Golongan amoxycillin dan kelompok makrolod dapat menimbulkan allergic
hepatitis (peradangan hati). Sementara antibiotik golongan
aminoglycoside, imipenem/meropenem, ciprofloxacin juga dapat
menyebabkan gangguan ginjal.
Selain itu, pemberian antibiotik spektrum luas tanpa indikasi yang
tepat dapat mengganggu perkembangan flora normal usus karena dapat
mematikan bakteri gram positif, bakteri gram negatif, kuman anaerob,
serta jamur yang digunakan pada proses pencernaan dan penyerapan
makanan dalam tubuh. Bakteri yang ada di dalam tubuh umumnya
menguntungkan, seperti bakteri pada usus yang membantu proses
pencernaan serta pembentukan vitamin B dan K.
Nah, anak yang kelebihan antibiotik bisa mengalami kekurangan vitamin
K yang berguna mencegah perdarahan. Selain itu, juga akan menyebabkan
anak menderita penyakit diare karena sistem pencernaan terganggu dan
mengalami iritasi di bagian usus akibat zat-zat kimia dari antibiotik.
Diare disebabkan terbunuhnya kuman yang diperlukan untuk pencernaan
dan menjaga ketahanan usus sehingga bakteri “jahat” menguasai tempat
tersebut dan merusak proses pencernaan.
Akibat lain dari pemberian antibiotik yang tidak tepat adalah
timbulnya kuman yang resisten. Setiap makhluk memiliki kemampuan untuk
bertahan, begitu pun bakteri atau kuman. Jika jasad renik ini diserang
terus-menerus, akan tercipta suatu sistem untuk bertahan dengan cara
bermutasi atau berubah bentuk sehingga sulit dibunuh oleh antibiotik.
“Jadi, semakin sering mengonsumsi antibiotik, makin resisten pula
bakteri, parasit, atau jamur tersebut!” tandas Wati.
Bibit penyakit yang resisten itu dikenal dengan nama superbugs.
Superbugs ini dapat menjadi masalah serius bagi kesehatan, baik bagi
si penderita maupun masyarakat luas. Bila ada anggota masyarakat di
suatu lingkungan mengonsumsi antibiotik secara berlebihan (tidak
rasional), lingkungan tersebut potensial terinfeksi oleh kuman yang
sudah resisten antibiotik.
Infeksi akibat superbugs ini memerlukan antibiotik yang jauh lebih
kuat. Pasien harus dirawat di rumah sakit karena antibiotiknya harus
diberikan melalui cairan infus. Antibiotik ini berisiko menimbulkan
efek samping kesehatan yang lebih berat. Selain itu, dalam waktu
cepat, bakterinya akan kebal kembali terhadap antibiotik yang
superkuat tadi.
Itulah sederet akibat buruk dari penggunaan antibiotik secara
berlebihan (irasional). “Yang akan dirugikan tentu bukan hanya pasien,
tapi juga lingkungan sekitarnya,” kata Wati. Lantaran itu, pasien
diharapkan tidak selalu meminta dokter memberikan antibiotik terutama
untuk penyakit infeksi virus seperti flu, pilek, atau batuk.
Memang, antibiotik mampu memerangi infeksi akibat bakteri atau kuman
sehingga tak lepas perannya dalam proses penyembuhan. Akan tetapi,
penggunaan yang irasional menyebabkan antibiotik lebih banyak
merugikannya ketimbang menguntungkan. (Nakita/Hilman Hilmansyah)
Add comment Oktober 15, 2009
10 Hal Tentang Antibiotik
sumber : http://www.fk.undip.ac.id/tips-kesehatan/66-10-hal-tentang-antibiotika.html
Antibiotika tentu bukan sesuatu yang asing. Namun, bagaimana
antibiotika selayaknya digunakan, tak semua orang tahu.
1. Apa sebetulnya manfaat antibiotika?
Antibiotika adalah senyawa kimia yang dibuat untuk melawan bibit
penyakit, khususnya kuman. Ada beragam jenis kuman, ada kuman yang
besar, ada yang kecil, dengan sifat yang beragam pula.
Kuman cenderung bersarang di organ tertentu di tubuh yang
ditumpanginya. Ada yang suka di otak, di paru-paru, di usus, saraf,
ginjal, lambung, kulit, atau tenggorok, dan lainnya. Di organ-organ
tempat bersarangnya itu, kuman tertentu menimbulkan infeksi. Kuman
tipus menimbulkan penyakit tipus di usus, kuman TBC di paru-paru,
selain bisa juga di tulang, ginjal, otak, dan kulit. Kuman lepra di
saraf dan kulit, kuman difteria di tenggorokan, tetanus di saraf, dan
banyak lagi
Awalnya, ditemukan jenis antibiotika penisilin, lalu sulfa, yang
digunakan untuk mengobati semua penyakit infeksi. Sekarang, sudah
berpuluh-puluh jenis antibiotika ditemukan, baik dari rumpun yang
sama, maupun dari jenis yang lebih baru. Setiap antibiotika memiliki
kemampuannya sendiri dalam melawan kuman. Itu sebab, setiap rumpun
kuman memiliki penangkalnya masing-masing yang spesifik. Namun,
kebanyakan antibiotika bersifat serba mempan atau broadspectrum.
Artinya, semua kuman dapat dibasminya.
Selain itu, ada pula jenis antibiotika yang sempit pemakaiannya,
spesifik hanya untuk kuman-kuman tertentu saja. Misalnya, antibiotika
untuk kuman TBC (mycobacterium tuberculosis), untuk lepra atau kusta
(mycobaterium leprae), atau untuk tipus (salmonella tyhphi).
2.Kapan antibiotika digunakan?
Antibiotika digunakan jika ada infeksi oleh kuman. Infeksi terjadi
jika kuman memasuki tubuh. Kuman memasuki tubuh melalui pintu masuknya
sendiri-sendiri. Ada yang lewat mulut bersama makanan dan minuman,
lewat udara napas memasuki paru-paru, lewat luka renik di kulit,
melalui hubungan kelamin, atau masuk melalui aliran darah, lalu kuman
menuju organ yang disukainya untuk bersarang.
Gejala umum tubuh terinfeksi biasanya disertai suhu badan meninggi,
demam, nyeri kepala, dan nyeri. Infeksi di kulit menimbulkan reaksi
merah meradang, bengkak, panas, dan nyeri. Contohnya bisul. Di usus,
bergejala mulas, mencret. Di saluran napas, batuk, nyeri tenggorok,
atau sesak napas. Di otak, nyeri kepala. Di ginjal, banyak berkemih,
kencing merah atau seperti susu.
Namun, gejala suhu tubuh meninggi, demam, nyeri kepala, dan nyeri,
bisa juga bukan disebabkan oleh kuman, melainkan infeksi oleh virus
atau parasit. Dari keluhan, gejala dan tanda, dokter dapat mengenali
apakah infeksi disebabkan oleh kuman, virus, atau parasit.
Penyakit yang disebabkan bukan oleh kuman tidak mempan diobati dengan
antibiotika. Untuk virus diberi antivirus, dan untuk parasit diberi
antinya, seperti antimalaria, antijamur, dan anticacing. Jika infeksi
oleh jenis kuman yang spesifik, biasanya dokter langsung memberikan
antibiotika yang sesuai dengan kuman penyebabnya. Misal bisul di
kulit, tetanus, difteria, tipus, atau infeksi mata merah.
Untuk infeksi yang meragukan, diperlukan pemeriksaan khusus untuk
memastikan jenis kuman penyebabnya. Caranya dengan melakukan pembiakan
(kultur) kuman. Bahan biakannya diambil dari darah atau air liur,
dahak, urine, tinja, cairan otak, nanah kemaluan, atau kerokan kulit.
Dengan biakan kuman, selain menemukan jenis kumannya, dapat langsung
diperiksa pula jenis antibiotika yang cocok untuk menumpasnya (tes
resistensi). Dengan demikian, pengobatan infeksinya lebih tepat. Jika
tidak dilakukan tes resistensi, bisa jadi antibiotika yang dianggap
mampu sudah tidak mempan, sebab kumannya sudah kebal terhadap jenis
antibiotika yang dianggap ampuh tersebut.
3.Kenapa semakin banyak kuman yang kebal antibiotika?
Pemakaian antibiotika di negara-negara sedang berkembang sering tidak
terkontrol dan cenderung serampangan. Antibiotika yang bisa dibeli
bebas, ketidaktahuan pemakaian, dan tidak dipakai sampai tuntas,
menimbulkan generasi kuman yang menjadi kebal (resisten) terhadap
antibiotika yang digunakan secara tidak tepat dan serampangan itu.
Pemakaian antibiotika yang tidak dihabiskan, atau menebusnya setengah
resep, misalnya.
Semakin sering dan banyak disalahgunakan suatu antibiotika, semakin
cepat menimbulkan kekebalan kuman yang biasa ditumpasnya. Pemakaian
antibiotika golongan erythromycine yang paling banyak dan luas dipakai
di dasawarsa 80-an, semakin banyak melahirkan generasi kuman yang
kebal terhadapnya. Lalu, dibuat generasi baru dari rumpun yang sama.
Setiap beberapa tahun, lahir jenis generasi antibiotika baru untuk
membasmi jenis kuman yang sudah kebal. Tentu, dengan harga yang lebih
mahal.
4.Apa efek samping antibiotika?
Seperti obat umumnya, antibiotika juga punya efek samping
masing-masing. Ada yang berefek buruk terhadap ginjal, hati, ada pula
yang mengganggu keseimbangan tubuh. Dokter mengetahui apa efek samping
suatu antibiotika, sehingga tidak diberikan pada sembarang pasien.
Pasien dengan gangguan hati, misalnya, tidak boleh diberikan
antibiotika yang efek sampingnya merusak hati, sekalipun ampuh
membasmi kuman yang sedang pasien idap. Dokter perlu memilihkan
antibiotika lain, mungkin kurang ampuh, namun tidak berefek pada hati.
Namun, jika suatu antibiotika tidak ada penggantinya, antibiotika
tetap dipakai, dengan catatan, bahaya efek samping pada seorang pasien
memerlukan monitoring oleh dokter, jika dipakai untuk jangka waktu
yang lama. Antibiotika untuk TBC, misalnya, yang diminum sedikitnya 6
bulan, perlu pemeriksaan fungsi hati secara berkala, agar jika sudah
merusak hati, obat dipertimbangkan untuk diganti.
5.Apa bahaya terlalu sering menggunakan antibiotika?
Pemakaian antibiotika yang terlalu sering tidak dianjurkan. Di negara
kita, orang bebas membeli antibiotika dan memakainya kapan dianggap
perlu. Sedikit batuk pilek, langsung minum antibiotika. Baru mencret
sekali, langsung antibiotika. Padahal belum tentu perlu. Kenapa?
Belum tentu batuk pilek disebabkan oleh kuman. Awalnya oleh virus.
Jika kondisi badan kuat, penyakit virus umumnya sembuh sendiri. Yang
perlu dilakukan pada penyakit yang disebabkan oleh virus adalah
memperkuat daya tahan tubuh dengan cukup makan, istirahat, dan makanan
bergizi. Pemberian antibiotika pada batuk pilek yang disebabkan oleh
virus hanya merupakan penghamburan dan merugikan badan, sebab memikul
efek samping antibiotika yang sebetulnya tak perlu terjadi.
Kasus batuk pilek virus yang sudah lama, yang biasanya sudah
ditunggangi oleh kuman, baru membutuhkan antibiotika untuk membasmi
kumannya, bukan untuk virus flunya. Tanda batuk pilek membutuhkan
antibiotika adalah dengan melihat ingusnya. Yang tadinya encer bening
sudah berubah menjadi kental berwarna kuning-hijau. Selama ingusnya
masih encer bening, antibiotika tak diperlukan.
Minum antibiotika kelewat sering juga mengganggu keseimbangan flora
usus. Kita tahu, dalam usus normal tumbuh kuman yang membantu
pencernaan dan pembentukan vitamin K. Selain itu, di bagian-bagian
tertentu tubuh kita juga hidup kuman-kuman jinak yang hidup
berdampingan dengan damai dengan tubuh kita. Di kemaluan wanita, di
kulit, di mulut, dan di mana-mana bagian tubuh ada kuman yang tidak
mengganggu namun bermanfaat (simbiosis).
Terlalu sering minum antibiotika berarti membunuh seluruh kuman jinak
yang bermanfaat bagi tubuh. Jika populasi kuman jinak yang bermanfat
bagi tubuh terbasmi, keseimbangan mikroorganisme tubuh bisa terganggu,
sehingga jamur yang tadinya takut oleh kuman-kuman yang ada di tubuh
kita berkesempatan lebih mudah menyerang.
Itu maka, banyak orang yang setelah minum antibiotika yang kelewat
lama, kemudian terserang penyakit jamur. Bisa jamur di kulit, usus,
seriawan di mulut, atau di mana saja. Keputihan sebab jamur pada
wanita, antara lain lantaran vagina kelewat bersih oleh antisepsis
yang membunuh kuman bermanfaat di sekitar vagina (Doderlein).
6.Berapa lama seharusnya konsumsi antibiotika?
Lama pemakaian antibiotika bervariasi, tergantung jenis infeksi dan
kuman penyebabnya. Paling sedikit 4-5 hari. Namun, jika infeksinya
masih belum tuntas, antibiotika perlu dilanjutkan sampai keluhan dan
gejalanya hilang. Pada tipus, perlu beberapa minggu. Demikian pula
pada difteria, tetanus. Pling lama pada TBC yang memakan waktu
berbulan-bulan. Termasuk pada kusta.
Pada infeksi tertentu, setelah pemakaian antibiotika satu kir, perlu
dilakukan pemeriksaan biakan kuman ulang untuk memastikan apakah kuman
sudah terbasmi tuntas. Infeksi saluran kemih, misalnya, setelah
selesai satu kir antibiotika dan keluhan gejalanya sudah tiada, biakan
kuman dilakukan untuk melihat apa di ginjal masih tersisa kuman. Jika
masih tersisa kuman dan antibiotikanya tidak dilanjutkan, penyakit
infeksinya akan kambuh lagi.
Termasuk pada infeksi gigi. Sakit gigi biasanya disebabkan oleh adanya
kuman yang memasuki gusi dan tulang rahang melalui gigi yang bolong
atau keropos. Dalam keadaan demikian, gusi membengkak dan gigi nyeri.
Antibiotika diberikan sampai keluhan nyeri gigi hilang. Jika
antibiotika hanya diminum sehari-dua, kuman di dalam gusi belum mati
semua, sehingga infeksi gusi dan sakit gigi akan kambuh lagi.
7.Kenapa antibiotika bisa tidak mempan?
Antibiotika tidak mempan karena dua hal. Yang paling sering, kuman
penyebab penyakitnya sudah kebal terhadap antibiotika tersebut. Untuk
itu perlu dicari antibiotika jenis lain yang lebih sensitif. Biasanya
perlu dilakukan tes resistensi mencari jenis antibiotika yang tepat.
Yang kedua karena tidak dilakukan tes resistensi dulu dan langsung
diberikan antibiotika secara acak, sehingga kemungkinan pilihan
antibiotikanya tidak tepat untuk jenis kuman penyebab penyakitnya.
Antibiotikanya memang tidak mempan terhadap kuman penyebabnya.
Kita mengenal ada kuman jenis gram-negatif. Untuk itu perlu
antibiotika untuk jenis kuman itu. Jika diberikan antibiotika untuk
jenis kuman gram-positif, tentu tidak akan mempan, sebab
antibiotikanya salah sasaran. Atau bisa oleh karena infeksinya bukan
disebabkan oleh kuman, melainkan oleh virus atau parasit. Jamur kulit
tak mempan diberi salep atau krim antibiotika, misalnya.
8.Apa artinya antibiotika yang keras?
Artinya tidak perlu antibiotika dari generasi yang baru, kalau dengan
antibiotika klasik (golongan penicillin) masih mempan. Namun, untuk
infeksi ringan saja (flu), seringkali diberikan antibiotika generasi
mutakhir. Selain jauh lebih mahal, tubuh pun memikul efek samping yang
biasanya lebih berat. Semakin ampuh antibiotika, biasanya semakin
keras pula efek sampingnya. Membunuh lalat tak perlu pakai panah,
cukup ditepuk. Begitu pula untuk infeksi enteng. Kalau bisa, jangan
lekas-lekas memakai antibiotika. Tubuh kita memiliki perangkat
antibodi. Setiap bibit penyakit, apa pun jenisnya, yang masuk ke dalam
tubuh, akan dibasmi oleh sistem kekebalan tubuh sendiri. Tubuh baru
menyerah kalah jika bibit penyakitnya sangat ganas, jumlahnya banyak,
dan daya tahan tubuh sedang lemah.
Tidak setiap kali dimasuki bibit penyakit, tubuh kita akan jatuh
sakit. Jika kekebalan tubuh prima, bibit penyakit yang sudah memasuki
tubuh akan gagal menginfeksi, dan kita batal jatuh sakit. Infeksi
umumnya baru terjadi jika tubuh sedang lemah. Untuk itu, perlu bantuan
zat anti yang dikirim dari luar. Kiriman zat anti dari luar itulah
yang diperankan oleh antibiotika.
9.Kenapa orang bisa pingsan usai minum atau disuntik antibiotika?
Adakalanya, sehabis minum atau disuntik antibiotika bisa pingsan.
Orang-orang tertentu yang berbakat alergi, umumnya tidak tahan
terhadap antibiotika golongan penisilin, baik yang diminum maupun yang
disuntikkan. Beberapa menit sampai beberapa jam sesudahnya muncul
reaksi alergi. Rasa tebal dan gatal di bibir, pusing, mual, muntah,
lalu pingsan. Jika ringan hanya gatal-gatal mirip biduran. Reaksi
hebat bisa menimbulkan reaksi kulit melepuh, berbisul-bisul
(Steven-Johnson syndrome).
Bagi yang berbakat alergi, perlu dites dulu sebelum mendapat suntikan
antibiotika golongan penisilin. Jika positif, jangan diberikan. Atau
jika pernah ada riwayat gatal sehabis minum atau disuntik antibiotika,
buatlah catatan, agar lain kali dapat mengingatkan dokter kalau tidak
tahan antibitioka tersebut. Sekarang reaksi alergi terhadap
antibiotika sudah jarang terjadi, sebab tersedia banyak pilihan
antibiotika yang lebih unggul dari penisilin tanpa risiko alergi.
10. Apakah semua antibiotika hanya untuk diminum?
Tidak. Selain dalam bentuk obat minum (oral), ada juga dalam bentuk
suntikan (parenteral), salep, krim, supositoria (dimasukkan ke liang
dubur atau vagina); lotion, dan tetes. Infeksi kulit memakai salep
atau krim antibiotika, infeksi mata merah memakai tetes atau salep
mata, infeksi telinga tengah memakai tetes kuping antibiotika,
keputihan kuman dipakai antibiotika berbentuk peluru yang dimasukkan
ke dalam vagina (bagi yang sudah menikah, tidak buat yang masih
gadis).
Antibiotika streptomycine, garamycine, hanya dalam bentuk suntikan,
tidak tersedia dalam bentuk tablet atau kapsul. Sebaliknya, kebanyakan
antibiotika yang diminum belum tentu ada dalam bentuk suntikannya.
Tapi, ada juga antibiotika baik dalam bentuk suntikan maupun yang
diminum.
Membubuhi serbuk antibiotika pada lubang gigi yang sakit seperti
kebiasaan sementara orang atau pada luka, tidak terlalu tepat. Efek
penembusan antibiotika ke jaringan gusi yang terinfeksi tidak sebaik
jika diminum, atau bisa menyerap optimal seperti antibiotika yang
sudah dalam bentuk salep atau krim jika untuk dipakai pada kulit
(Sumber : Dr. Handrawan Nadesul/ Internet)
1 comment Agustus 22, 2009
What Are Antibiotics
source : lib.cpums.edu.cn
What are antibiotics?
. Antibiotics are strong medicines used to treat sicknesses called infections
. Infections can be caused by germs called bacteria, or viruses.
. Antibiotics kill bacteria only. They do not kill viruses.
. When used properly, they can save lives.
. When not used properly, they could hurt your child.
What kinds of germs make your child sick?
. There are two main types of germs: bacteria and viruses
. Viral illnesses are much more common than bacterial illnesses
Examples of viral infections:
- All colds
- All croup
- All influenza (flu)
- Chicken pox
- Most coughs
- Most fevers
- Most sore throats
- Most sore throats
- Examples of bacterial infections:
Many ear infections
- Most sinus infections
- Some pneumonia
- Strep throat
- Urinary tract infections
- Whooping cough (pertussis)
How do antibiotics work?
- Bacteria and viruses spread very differently. This is why
antibiotics work on bacteria, but not on viruses.
- Bacteria live by themselves. They have a protective cell wall around
them. They enter our body and make more of themselves. This causes us
to get sick. Antibiotics destroy the bacteria? protective cell walls
and kill them.
- Viruses cannot live by themselves. They do not have a protective
cell wall. They enter the body, go into cells, and then make more of
themselves inside the body’s cells. Antibiotics do not work on viruses
because they do not have the protective cell wall. Viral infections
will not get better with antibiotics!
When are antibiotics needed?
- Antibiotics should only be used if your child has a bacterial infection.
- Your child’s doctor will know if an antibiotic is needed.
What should I do if my child needs an antibiotic?
- Ask your doctor if your child’s infection is caused by a bacteria or virus.
- Talk to your child’s doctor about any worries you may have about antibiotics.
- Wash your hands often to decrease the chances of getting sick or
spreading the infection.
- Make sure your child takes the exact amount of the antibiotic. The
amount is based on your child’s weight. If your child takes too much
or too little of the antibiotic, it may not work right.
- Make sure your child takes ALL of the antibiotic that was given to
him, even if he is feeling better.
- If you are not sure about the amount to give, ask your doctor or pharmacist.
- If you have other questions about the antibiotic, ask your doctor or
pharmacist.
What is bacterial resistance?
- Each time we take an antibiotic, some bacteria are killed. But other
bacteria are not killed and learn to defend themselves against the
antibiotic. These bacteria are called resistant.
- Resistant bacteria happen when:
- antibiotics are used too often
- antibiotics are not taken the right way.
How can I help prevent bacterial resistance?
- Do not demand that your child’s doctor give you an antibiotic for a
viral infection.
- Use antibiotics only when your child’s doctor says they are needed
- Make sure your child takes the right amount of the antibiotic.
- Make sure your child takes ALL of the antibiotic that was given to him
- Do not take an antibiotic that was for someone else.
- Do not give your child’s antibiotic to anyone else.
- Do not take an old antibiotic that has been lying around the house.
Throw out all old antibiotics.
- There are three ways that you should throw out old antibiotics:
- Throw them in the trash. Make sure you crush the pills and put them
back into the original container. Tape the container shut and then put
it in a bag. Put this bag in another bag to keep children and pets
from getting into it
- Take them to a local household hazardous waste collection site
- Take them back to your pharmacy.
What are possible side effects of antibiotics?
- Each antibiotic is different. Most have few side effects
- The most common side effects are nausea, diarrhea and vomiting, or
stomach pain.
- Some people may be allergic to an antibiotic. They could get a rash,
hives, or have problems breathing.
- Be sure to tell your child’s doctor of any side effects.
What are the signs of a severe reaction to the antibiotic?
- Your child could have problems breathing.
- In some severe cases, he may stop breathing.
Call your doctor at once if your child has one of these reactions:
- Problems breathing
- Rash that is getting worse
- Diarrhea and vomiting that is getting worse
- Nausea or stomach pain that is bad
When should I call the doctor?
- Call our doctor if your child is sick for more than a couple of days
or if he is getting worse. Your child’s doctor can tell if the
infection needs an antibiotic.
- Call your doctor if your child gets a rash, nausea, diarrhea and
vomiting, or stomach pain after taking the antibiotic and is getting
worse.
- Call your doctor right away if your child has difficulty breathing
after taking the antibiotic.
- Call your doctor if your child’s infection does not start to get
better in 2-3 days.
- Call your doctor if you have any questions about your child’s condition.
Quick Answers
- Antibiotics are strong medicines used to treat certain infections.
- They kill bacteria only. They do not kill viruses
- Antibiotics should only be used if your child has a bacterial infection.
- Make sure your child takes the exact amount of the antibiotic. The
amount is based on your child’s weight. If your child takes too much
or too little of the antibiotic, it may not work right.
- Make sure your child takes ALL of the antibiotic that was given to
him, even if he is feeling better.
- Each time we take an antibiotic, some bacteria are killed. But other
bacteria learn to defend themselves against the antibiotic. These
bacteria are called resistant.
- Resistant bacteria happen when:
- antibiotics are used too often
- antibiotics are not taken the right way.
- Most antibiotics have few side effects.
- The most common side effects are nausea, diarrhea and vomiting, or
stomach pain.
- Some people may be allergic to an antibiotic. They could get a rash,
hives, or have problems breathing.
- Remember, antibiotics will only kill bacteria. They do not kill viruses.
- Always use antibiotics wisely
References
- Association for Professionals in Infection Control and Epidemiology
(APIC). Antibiotic Safely. 2002. (cited 2004, February 17). URL:
http://www.apic.org/iicw/2002/IICW2002AntibioticSafety.pdf
- Centers for Disease Control and Prevention. “Your Child and
Antibiotics.” 2002, February 15. (cited 2004, February 17). URL:
http://www.cdc.gov/antibioticresistance/files/html_versions/Your%20Child%20and%20Antibiotics.htm
- Familydoctor.org. Antibiotics: When They Can and Can’t Help. 2002
December. (cited 2004, February 17). URL:
http://familydoctor.org/x2250.xml
- KidsHealth.org. The Danger of Antibiotic Overuse. 2001, November.
(cited 2004, February 17). URL:
http://kidshealth.org/PageManager.jsp?dn=KidsHealth&lic=1&ps=107&cat_id=128&article_set=27805
- Loyola University Health System. Antibiotics. 2003, December 4.
(cited 2004, February 17). URL:
http://www.luhs.org/health/topics/pediatrics/antibio.htm.
MayoClinic.com. Using antibiotics sensibly. 2002, February 6. (cited
2004, February 17). URL:
http://www.mayoclinic.com/invoke.cfm?id=FL00075
- REACH Mass. Kids and Antibiotics. (cited 2004, February 17). URL:
http://www.reachmass.org/parents-anitbiotics.html
- University of Michigan Health System. Antibiotics: Preventing
Unnecessary Use. 2003. (cited 2004, February 17). URL:
http://www.med.umich.edu/1libr/pa/pa_antiprev_hhg.htm
Add comment Juli 2, 2009
A NEW THREAT TO YOUR HEALTH ANTIBIOTIC RESISTANCE
SUMBER : MILIS SEHAT
by Dr. Purnamawati SpAK MMPed
Antibiotik merupakan salah satu obat terpenting yang pernah diciptakan
manusia. Mengapa? Antibiotik membantu kita berperang melawan infeksi
kuman/bakteri, oleh karena itu, antibiotik bisa menjadi penyelamat
jiwa. Namun dengan berjalannya waktu, keampuhan antibiotik semakin
memudar. Apa yang telah terjadi dengan antibiotik? Ternyata,
penggunaan antibiotik yang membabi buta menyebabkan antibiotik
kehilangan pamornya sebagai obat istimewa”. Saat ini, di seluruh
belahan dunia, sebagian besar kuman penyebab infeksi serius sudah
resisten (kebal) terhadap antibiotik. Kuman yang resisten ini disebut
sebagai “superbugs”. Besarnya permasalahan yang ditimbulkan oleh
“superbugs” ini merupakan keprihatinan seluruh dunia.
Pada tahum 1995, berdasarkan penelitian bakteri resisten antibiotik,
The American Medical Association (AMA mengeluarkan pernyataan yang
keras. “The global increase in resistance to antimicrobial drugs,
including the emergence of bacterial strains that are resistant to all
available antibacterial agents, has created a public health problem of
potentially crisis proportions”. Bakteri resisten antibiotik memang
telah menimbulkan masalah kesehatan yang sangat serius di komunitas.
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional bukan hanya “merugikan”
individu yang bersangkutan (pasien yang memperoleh terapi antibiotik),
melainkan juga merugikan lingkungan sekitarnya. Bila anggota
masyarakat di suatu lingkungan mengkonsumsi antibiotik secara
berlebihan (tidak rasional) maka lingkungan tersebut potensial
terinfeksi oleh kuman yang sudah resisten antibiotik.
Tidak sedikit konsumen kesehatan maupun dokter yang masih menganggap bahwa
antibiotik itu “obat dewa” alias “magic savers”. Konsep keliru ini
segeralah tanggalkan. Hampir semua kondisi kesehatan diterapi dengan
antibiotik termasuk infeksi virus seperti flu. Padahal, antibiotik
“impoten” terhadap virus. Celakanya, justru anak-anak sangat sering
memperoleh antibiotik. Hal ini sangat memprihatinkan, karena cepat
atau
lambat, kita akan “terpental” kembali ke era kegelapan, era pra antibiotik.
SLIDE 2. HISTORICAL PERSPECTIVES
Antibiotik an pertamakali diketemukan secara kebetulan di awal abad 20.
Sejak itu, telah ditemukan berbagai antibiotik baru yang lebih kuat, lebih
canggih. Namun demikian, sejak tahun 1998, praktis tidak ada lagi penemuan
antibiotik baru. Padahal saat ini, para dokter sudah seperti berkejaran di
“treadmill” (berlari – tetapi pada dasarnya jalan di tempat), terus
mencari dan mempergunakan antibiotik yang lebih baru dan lebih kuat.
Padahal, kalau perilaku penggunaan antibiotik tidak berubah menjadi
rasional, dalam waktu singkat antibiotik baru tersebut (kalaupun
ditemukan) juga menjadi “impoten”.
SLIDE 3. BACTERIA AND VIRUS – organisme yang sangat kecil
(mikro-organisme)
Bakteri. Banyak sekali bakteri di dalam tubuh kita. Bahkan, salah satu
kandungan di ASI adalah bakteri. Alam semesta pun penuh dengan bakteri.
Hal ini menunjukkan bahwa mayoritas bakteri – tidak “jahat”, bahkan
menguntungkan. Kita dan tubuh kita justru membutuhkan bakteri ini, mereka
membantu kesehatan kita.
Berdasarkan sifat fisiknya di laboratorium, secara garis besar bakteri
dapat digolongkan sebagai bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif.
Virus. Virus jauh lebih kecil daripada bakteri. Mereka berkembangbiak
dengan mempergunakan sel tubuh kita. Oleh karena itu, diluar tubuh kita,
virus tidak berkembang biak. Virus tidak dapat dibunuh oleh obat,
antibiotik samasekali tidak bekerja terhadap virus. Virus hanya bisa
dibasmi oleh sistem imun atau daya tahan tubuh kita.
SLIDE 4. LIVING WITH BACTERIA
Di dalam tubuh kita ditemukan banyak bakteri terutama di saluran cerna
(mulai dari mulut sampai usus dan anus). Usus kita dipenuhi oleh kurang
lebih 500 jenis bakteri dan berat bakteri di usus orang dewasa normal bisa
mencapai 1.5 kg. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri memegang peran penting
dalam sistem pencernaan kita. Apa gunanya usus kita dipenuhi bakteri?
1. Bakteri mengubah apa yang kita makan menjadi nutrisi yang
dibutuhkan tubuh
2. Memproduksi vitamin B & vitamin K,
3. Memperbaiki sel dinding usus yang tua dan sudah rusak
4. Merangsang gerak usus (peristaltis) sehingga kitatidak mudah
mengalami konstipasi
5. Menghambat berkembang biaknya bakteri jahat dan secara tidak
langsung, mencegah tubuh kita agar tidak terinfeksi bakteri jahat.
Nah, antibiotik yang kita makan, otomatis akan membunuh bakteri “baik”
tersebut.
SLIDE 5. WHAT ARE ANTIBIOTICS?
Antibiotics are compounds isolated from one living organism that kill or
inhibit the growth of other organisms. Antibiotik dibuat dari Molds/jamur;
Bakteri, atau sintetik/semisintetik yang akan membunuh atau menghambat
pertumbuhan bakteri yang menyerang tubuh.
Antibiotik tidak dapat membasmi semua infeksi. Infeksi yang disebabkan
virus (pilek-flu, sebagian besar radang tenggorokan, kebanyakan batuk)
tidak dapat di”basmi” oleh antibiotik.
SLIDE 6. HOW DO I KNOW WHEN I NEED ANTIBIOTICS
When they can and can’t help?
Konsumen harus mengetahui kapan mereka memerlukan antibiotik dan kapan
mereka tidak perlu mengkonsumsi antibiotik. Kesadaran seperti ini akan
sangat membantu dokter karena tidak jarang, justru pasien yang minta
diberi antibiotik. Penelitian menunjukkan, paling tidak, ada tiga kondisi
yang umumnya diterapi dengan antibiotik:
. Demam
. Radang tenggorokan/Sore throat
. Diare
Penggunaan antibiotik yang berlebihan, tidak akan menguntungkan, bahkan
dapat merugikan/membahayakan. Manusia dikaruniai Tuhan anugrah berupa
antibiotik untuk membunuh infeksi bakteri, namun demikian, manusia jugalah
yang merusak karunia tersebut dengan pola penggunaan antibiotik yang tidak
bijaksana. Marilah kita jaga dan lindungi karunia ini. Antibiotics save us
- we have to save antibiotics.
SLIDE 7. THE TROUBLE WITH ANTIBIOTICS
Long-term damage to individual & community
F Pemberian antibiotik yang berlebihan akan menyebabkan kuman2 yang
tidak terbunuh mengalami perubahan diri (mutasi) menjadi kuman yang tidak
mempan dilawan antibiotik. Kuman ini disebut “superbugs”. Selain itu,
“superbugs” juga sering lolos dari serangan sistem imun tubuh karena
perubahan diri tersebut menyebabkan sistem imun tidak dapat lagi mengenali
si kuman. Superbugs memerlukan antibiotik yang jauh lebih kuat, pasien
harus dirawat di rumah sakit karena antibiotiknya harus diberikan melalui
selang infus. Antibiotik super kuat ini berisiko menimbulkan efek samping
yang lebih berat. Selain itu, dalam waktu cepat, bakterinya juga menjadi
kebal terhadap antibiotik yang superkuat tadi.
F Dampak negatif kedua pemberian antibiotik yang berlebihan dan
tidak bijaksana adalah terbunuhnya “kuman baik” yang ada di dalam tubuh
kita. Tempat yang semula ditempati mereka menjadi vakum dan kekosongan ini
diisi oleh kuman “jahat” atau oleh jamur. Kondisi ini disebut sebagai
“superinfection”.
Antibiotik adalah sumber alam, karunia Tuhan yang harus dipergunakan
dengan bijaksana. Pemberian antibiotik yang berlebihan menyebabkan infeksi
yang semula dapat dibasmi, kini justru semakin subur karena kumannya telah
kebal.
SLIDE 8. WHY OVERUSE OF ANTIBIOTICS IS DANGEROUS?
Bakteri jahat akan menjadi resisten bila ANTIBIOTIK terlalu sering
dipergunakan. Mengapa pemakaian antibiotik yang berlebihan berbahaya?
Karena, yang akan dirugikan bukan saja pasien/individu yang memperoleh
antibiotik – tetapi juga lingkungan sekitarnya (komunitas). Oleh karena
itu antibiotik adalah satu2nya obat komunitas, obat yang berdampak
terhadap lingkungan (ANTIBIOTICS are SOCIETAL MEDICINE).
Dampak negatif individual.
Antibiotik tidak lagi dapat membantu anda saat anda mengkonsumsinya di
kemudian hari.
Dampak negatif komunitas.
Kelompok bakteri yang resisten tersebut selanjutnya juga menginfeksi
seluruh populasi tetapi TIDAK ADA ANTIBIOTIK yang MEMPAN – meskipun
sebagian orangdi populasi tersebut baru pertamakali itu memakai antibiotik
yang bersangkutan
SLIDE 9. QONSEQUENCES OF RESISTANCE
Dr. Richard Novick membuat pernyataan seperti di bawah ini:
Antibiotics are given for everything from headaches to ingrown toenails;
they are swallowed, sucked, injected and smeared; they are painted on
cuts, dumped into wounds; fed to chickens-pigs spread on the floors of
the hospital wards
Memang itulah kenyataan yang terjadi sehari-hari. Kita terlalu BOROS dalam
penggunaan antibiotik yang bisa berdampak buruk sebagai berikut (CDC,
Atlanta):
. Prolonged illnesses, increased risk of death
. Increased cost
. More toxic drugs
. Longer periods in which a person is contagious & able to spread the
resistant bugs to the community
SLIDE 10. Antimicrobial Use and Antimicrobial Resistance in Europe
SLIDE 11. Principles of Appropriate Antimicrobial Use:
The Common Cold – Key Message
SLIDE 12. Antibiotics for The Common Cold. Benefit on Day 5?
SLIDE 13. Appropriate Antimicrobial Use: Sinusitis – Key Message
Sinusitis umumnya terjadi akibat infeksi virus flu atau pilek. Oleh karena
itu, umumnya tidak memerlukan antibiotik. Terapi antibiotik hanya perlu
diberikan bila:
- Sinusitis berkepanjangan lebih dari 10 – 14 hari atau,
- Sinusitis semakin berat (
demam > 39.0 C, bengkak di muka sekitar hidung dan mata/facial swelling,
rasa nyeri di daerah muka/facial pain)
SLIDE 14. Duration of Symptoms in 139 Rhinovirus Colds
SLIDE 15. Antibiotic Treatment of Sinusitis
SLIDE 16. Principles of Appropriate Antimicrobial Use:
Bronchitis – Key Message
Bronkitis adalah ITIS atau radang di saluran napas. Penyebabnya
macam-nacam. Penyebab tersering adalah alergi (Allergic rhinitis, asthma,
environmental exposures), bisa juga karena sinusitis, reflux, reaksi obat,
kelainan bawaan saluran napas, tersedak “benda asing”, pneumonia (virus,
jamur). Mohon diingat – pneumonia belum tentu karena infeksi bakteria jadi
belum tentu perlu antibiotik. Prinsip managemennya sama dengan batuk pada
umumnya.
Anak-anak dengan batuk yang akut atau bronkitis, SELAMA TIDAK MENDERITA
PENYAKIT PARU-PARU KRONIS, UMUMNYA TIDAK MEMERLUKAN ANTIBIOTIK. Antibiotik
HANYA diperlukan bila anak menderita infeksi bakteri seperti pertussis
(batuk rejan/batuk 100 hari) atau infeksi mycoplasma (memberikan gambaran
foto ronsen yang khas).
SLIDE 17. Appropriate Antimicrobial Use: Otitis Media – Key Message
Otitis media adalah itis di telinga (otic) tengah (media), radang telinga
tengah. Penyebabnya umumnya adalah Virus, pasca infeksi hidung atau radang
tenggorokan seperti cold/flu, atau masalah gigi
Serangan atau episode otitis media dapat digolongkan atas:
- Acute otitis media (AOM) atau radang telinga tengah akut
- Otitis media with effusion (OME) atau radang telinga tengah dengan
cairan
Terapi awal OME tidak memerlukan
Antibiotik
SLIDE 18. Appropriate Antimicrobial Use: Otitis Media – Key Message
Pada umumnya, sebagian besar atau mayoritas anak dengan serangan AOM akan
sembuh sendiri (self-limited).
. Pada AOM, terapi antibiotik (5 – 7 hari) dapat dipertimbangkan bila anak
tidak tergolong berisiko tinggi mengalami kegagalan terapi antibiotik.
Risiko kegagalan antibiotik pada AOM sebagai berikut:
- Berusia < 24 bulan - Sehari-hari, anak ditipkan di tempat penitipan anak (seperti kita ketahui, karena “kepadatan” suatu TPA, maka anak-anak yang berada di TPA, berisiko mengalami infeksi berulang terutama pilek dan batuk). - Dalam 3 bulan terakhir telah mempergunakan antibiotik (disini kita lihat, bahwa penggunaan antibiotik yang sering justru akan mengurangi keberhasilan terapi antibiotik) . Pasca terapi AOM, sudah dapat dipastikan bahwa cairan di ruang telinga tengah tidak akan langsung menghilang. Kondisi ini disebut sebagai OME yang menetap (persistent middle ear effusion) dan kondisi ini tidak berarti bahwa terapi antibiotik harus diulang. SLIDE 19. Persistent Middle Ear Effusion (MEE) after Treatment of 1st Episode of AOM (Cairan di ruang telinga tengah yang menetap pasca pengobatan AOM) SLIDE 20. Causes of Febrile Exudative Pharyngitis (Penyebab faringitis atau radang tenggorokan yang disertai dengan demam dan nanah – di tonsil/amandel SLIDE 21. Appropriate Antibiotic Use Berjuta-juta resep ditulis yang mencantumkan antibiotik untuk infeksi virus. Penelitian menunjukkan bahwa alasan yang dikemukakan para dokter ada 3 seperti yang sudah dikemukakan di slide 2. yaitu: . Diagnostic uncertainty . Time pressure . Patient demand SLIDE 22. HOW CAN PEOPLE HELP? . Jangan sedikit-sedikit meminta dokter untuk memberikan antibiotik. Jangan mengkonsumsi antibiotik untuk infeksi virus seperti flu/pilek, batuk, atau radang tenggorokan. Kalau merasa tidak nyaman akibat infeksi virus tersebut, tanya doikter bagaimana cara meringankan gejala tetapi bukan dengan antibiotik . DESINFEKTANT sebaiknya hanya dipergunakan di rumah sakit. Sehari-hari di rumah, kita tidak perlu mempergunakannya karena kuman di rumah umumnya adalah kuman baik. Di rumah – “Good water and soap are sufficient” Desinfektan mungkin hanya diperlukan bila di rumah ada orang sakit yang daya tahan tubuhnya memang rendah (pasca transplantasi, anak penyakit kronis yang memperoleh steroid, dan lain-lain). SLIDE 23. APPROPRIATE TARGETED AGENT Rule of thumb perihal pemakaian antibiotik yang lebih rasional: 1. Seandainya anak kita membutuhkan antibiotik, pilihlah antibiotik yang hanya bekerja terhadap bakteri yang dituju. Dalam hal ini, antibiotik yang narrow spectrum. 2. Untuk infeksi bakteri yang “ringan” (infeksi saluran napas atas atau infeksi telinga dan infeksi sinus) yang memang perlu antibiotik (seperti dikemukakan di slide sebelumnya), maka pilihlah yang bekerja terhadap bakteri Gram positif. 3. Untuk infeksi kuman yang berat, seperti infeksi di bawah daerah diafragma (infeksi ginjal/saluran kemih, apendisitis, tifus, dll) pilihlah antibiotik yang membunuh kuman Gram negatif. 4. Hindarkan pemakaian lebih dari satu antibiotik kecuali TBC atau infeksi berat di rumah sakit. 5. Hindarkan pemakaian salep antibiotik kecuali untuk infeksi mata. SLIDE 24. Antimicrobial Resistance Among Hospitalized Patients (Bakteri resisten antibiotik pada pasien rawat inap di rumah sakit) Infeksi nosokomial adalah infeksi yang diperoleh di rumah sakit dan penyebabnya adalah kuman/bakteri rumah sakit. Bakteri di rumah sakit umumnya sudah resisten terhadap berbagai antibiotik dan kalaupun masih ada antibiotik yang bisa membunuhnya, maka antibiotik tersebut adalah antibiotik yang sangat kuat. Sebagai contoh, anak kita dirawat karena dehidrasi berat akibat diare. Kebanyakan diare pada bayi disebabkan oleh virus. Tetapi saat dirawat, anak kita memperoleh infeksi tambahan yaitu infeksi nosokomial, yang memerlukan antibiotik super canggih. Pusat penyakit menular di Atlanta (CDC) Amerika Serikat menyatakan bahwa setiap tahunnya sampai dengan 2 juta pasien mengalami infeksi nosokomial saat dirawat di rumah sakit. Kondisi ini menyebabkan sejumlah 90,000 kematian. SLIDE 25. Battle of the Bugs: Fighting antibiotic resistance Sudah sejak beberapa dekade terakhir ini, dunia kedokteran “mencanangkan” PERANG TERHADAP BAKTERI RESISTEN ANTIBIOTIK. Caranya? (1) Kurangi pemakaian antibiotik, jangan mempergunakan antibiotik untuk infeksi virus. (2) Pergunakan antibiotik hanya bila memang benar-benar diperlukan dan mulailah dengan antibiotik yang “ringan” atau narrow spectrum. (4) Kampanye penggunaan antibiotik yang rasional harus semakin dikumandangkan, termasuk pengaturan pemakaian antibiotik di bidang agrikultur. Mengapa kita harus “hemat” dalam penggunaan antibiotik? . Increasing antibiotic resistance threatens success of antibiotic treatment for common infections . Antibiotic overuse drives the spread of resistance SLIDE 26. ANTIBIOTIC MISUSE. Our window of opportunity is closing . Saat ini, bertambah satu lagi krisis yang dihadapi kehidupan dan manusianya. Penyakit-penyakit yang semula dapat disembuhkan (TBC, Gonorrhoea, typhoid/tifus) – saat ini sudah tidak lagi dapat “DITEMBUS” - akibat kondisi antibiotic resistance. . Suatu kondisi yang sangat serius – yang diperparah oleh perilaku overuse of ANTIBIOTICS . Oleh karena itu, masalah ANTIBIOTIC RESISTANCE bukan masalah dokter dan ilmuwan saja, MELAINKAN – MERUPAKAN MASALAH KITA BERSAMA. Everybody needs to help deal with this SLIDE 27. Lessons Learned Prescribers (docotrs) and patients are all part of the problem Dokter dan pasien – SAMA-SAMA “BERSALAH” perihal antibiotic resistance ini. SLIDE 28. FINAL MESSAGE. BE SMART AND CRITICAL CONSUMERS Drugs are much too serious a thing to be left to the medical profession and the pharmaceutical industry Kata-kata di atas ditulis oleh seorang pakar ahli farmakologi klinik (ahli obat) di Australia. Memang benar, obat dan praktek pemberian obat, seyogyanya jangan sepenuhnya diserahkan ke tangan seorang dokter dan ahli farmasi. Sebagai konsumen kesehatan yang “bertanggung jawab”, kita harus berperan aktif “melindungi diri kita dan keluarga kita” dengan cara, menggali dan mencari pengetahuan kedokteran serta belajar memahami kondisi yang kita alami. Dengan berbekal pengetahuan dasar ilmu kesehatan, maka Insya Allah, kita akan menjadi konsumen kesehatan yang “smart and critical”. Add comment Juni 17, 2009 Penggunaan antibiotika pada pasien anak SUMBER : http://www.iwandarmansjah.web.id/medical.php?id=309 Antibiotika (AB) merupakan obat yang sangat berperan dalam memerangi infeksi yang ditimbulkan oleh kuman. Walaupun pemakaian AB yang baik berlaku untuk semua umur, AB untuk populasi pediatrik perlu memperoleh perhatian khusus karena kecenderungan pemakaian yang berlebihan. Klinik dokter anak dipenuhi dengan pasien anak yang hampir setiap 1-3 minggu datang kembali dengan – kebanyakan – keluhan yang sama, yaitu demam, batuk dan pilek. Hal ini merupakan fenomen yang tidak terjadi di negara Barat. Anak kecil, terutama bayi, membutuhkan pertumbuhan sehat tanpa AB bila memang tidak ada kepastian infeksi kuman. Yang lebih memprihatinkan lagi ialah bahwa populasi anak memang merupakan golongan umur yang tidak mempunyai data tentang pemakaiannya, karena tidak / jarang dilakukan uji klinik seperti terhadap orang dewasa. Dosis obatnya-pun tidak dilakukan dose-ranging studies (studi penentuan dosis) yang cukup komplex. Walaupun tidak ada peraturan yang tidak membolehkan penelitian pada anak di seluruh dunia, perijinan obat pada anak jarang diberikan secara khusus oleh FDA (Food and Drug Administration) Amerika Serikat, dan anehnya tidak diminta oleh FDA sebagai syarat perijinan pemasaran. Hal ini berlaku di seluruh dunia, seolah ada hambatan melakukan studi pada anak. Khusus di Jepang wanita juga tidak boleh (dilarang) dipakai sebagai subyek percobaan uji klinik. Hal ini menimbulkan tidak adanya data pada kedua jenis manusia tentang pemakaian obat. Pada hal orang tua diminta juga datanya oleh FDA bila diperlukan, karena mereka khusus bereaksi lain dibanding populasi muda. Anak juga selalu dikatakan bahwa mereka bukan merupakan orang dewasa kecil, dan memiliki sifat2 yang bisa sangat berbeda. Ini menyebabkan penentuan dosis pada anak terjadi dengan perhitungan umur/12 atau berat badan /berat badan dewasa kali dosis dewasa. Perhitungan empirik ini sering tidak bisa diterapkan, karena berlaku bahwa ‘anak bukan dewasa kecil’. Mereka berbeda dalam banyak hal, seperti penyerapan usus, metabolisme obat, ekskresi obat, dan juga kepekaan reseptor dalam tubuh. Obat, seperti oseltamivir (obat flu burung), juga lebih mudah melewati sekat darah-otak (blood-brain barrier) pada bayi, sehingga efek samping kematian bisa mengejutkan. Hasil penelitian pada anak sulit diperoleh dan juga tidak mudah dilakukan, sehingga data mengenai efektivitas, efek samping dan dosis, terutama tidak ada. Dokter anak , anehnya, harus mengobati tanpa bukti (evidence), yang berbeda dengan orang dewasa yang sering diteliti sangat jelimet dan menghabiskan biaya luar biasa. Ini dapat dimengerti jika kita ketahui bahwa sebagian besar ini dibiayai pabrik obat untuk obat2 yang banyak dipakai seperti obat darah tinggi, diabetes, penyakit jantung, cancer, dsb. Penelitian yang mahal sekalipun sering membawa keuntungan yang sangat banyak, bila memperoleh hasil yang superior dibanding obat produksi lawannya. Satu-dua obat seperti itu, yang disebut ‘blockbuster’ (sales lebih dari $ billions) sudah dapat menutupi keuntungan untuk semua obat yang dimiliki pabrik. Baru sejak akhir abad yang lalu dibuat undang-undang di Amerika Serikat yang disebut Pediatric Exclusivity Right untuk ‘anjuran’ pabrik obat melakukan uji klinik pada anak dengan ‘upah eksklusif’ memperoleh waktu hak paten tambahan sepanjang ~ ½ tahun. Setelah peraturan ini sekitar 500 obat telah dilakukan uji klinik baru/tambahan (terutama di Canada dan AS) untuk anak, walaupun hanya diperlukan 1-2 uji klinik saja. Ini jelas tidak mencukupi kebutuhan uji klinik untuk evaluasi obat yang baik. Semua ini membutuhkan pekerjaan di bidang Pediatric Clinical Pharmacology yang pertama berkembang terbaik di Canada di tahun 2000-an dan sebelumnya. Di Asia dan Indonesia penelitian uji klinik untuk anak perlu sekali dimajukan, karena banyak obat tidak jelas kegunaannya dan besar dosisnya. Penentuan dosis obat-jadi (dewasa dan anak) dilakukan oleh industri yang menyontek dari dosis anak di negara penemu obat, yang juga ditentukan tanpa penelitian. Ini menyebabkan kita tidak pernah bisa menakar dosis pada anak dengan benar. Misalnya saja, dosis untuk obat dasar yang banyak dipakai pasien anak, seperti parasetamol.efedrin, CTM, atau kodein jelas terlalu besar. Ini menyebabkan dokter yang sadar tentang overdose yang sebenarnya terjadi di seluruh dunia perlu membuat resep racikan yang lebih sesuai. Bila anak diberi parasetamol dan kemudian berkeringat banyak, ini tandanya dosis terlalu besar, namun tidak semua kasus overdose bisa memiliki tanda seperti ini. Di negara maju, obat untuk anak hanya sedikit digunakan karena anak sebenarnya merupakan mahluk yang jarang sakit, terutama bila diberi air susu ibu cukup karena mengandung bahan2 imunitas tubuh secara alamiah. Walaupun demikian pertumbuhan anak dihadang oleh berbagai penyakit yang belum dimiliki daya imunitasnya, terutama virus. Namun penyakit virus seperti ini sebagian besar tidak berbahaya karena sembuh sendiri, dan anak yang sehat segera akan membuat zat anti (imunitas) yang tangguh. Jadi mengisolasi anak di rumah saja tidaklah bijak, sebaliknya membawa anak bermain di mall menimbulkan pemaparan terhadap jenis virus sangatlah banyak sekaligus. Sekolahpun menimbulkan pemaparan yang sangat intens karena hubungan dengan teman2 baru – yang sering menularkan virus lewat jalan pernapasan yang biasa merupakan penyakit anak seperti cacar air, gondongan, measles, flu, dsb. Setelah periode pertumbuhan di sekolah SD maka anak menjadi lebih tahan terhadap penyakit virus. Pemaparan terhadap berbagai virus merupakan ‘pembelajaran’ sistem imun tubuh anak yang tidak bisa dihindarkan dan harus terjadi dalam proses tumbuh kembang anak. Dari data National Center for Health Statistics di AS (JAMA 1998) diperoleh bahwa AB ialah obat yang paling sering dipakai untuk anak, yaitu 75% dari semua kunjungan klinik (outpatient visits). Di Canada angka ini juga sebesar 74%. AB ini dipakai untuk 5 penyakit utama yaitu: otitis media, sinusitis, bronchitis, pharyngitis, dan infeksi asluran napas atas non- spesifik (virus). Data ini telah diperoleh sebelum 1998, karena semua penyakit di atas sekarang telah dibuktikan dalam banyak uji klinik di banyak negara bahwa AB sama hasilnya dengan plasebo, alias tidak efektif. Juga di negara Barat sekarang pemakaian AB untuk ke-lima penyakit virus anak itu tidak dipakai lagi karena evidence-nya sangat kuat. Namun, diperlukan obat2 simtomatik (mengurangkan gejala seperti pilek dan batuk, atau demam) untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangkan penderitaan, sambil istirahat. Di Indonesia peresepan AB untuk penyakit2 virus masih marak (mungkin ~ 90%), menimbulkan terhambatnya pembentukan imunitas anak, (justru) memperpanjang lamanya penyakit, membunuh kuman yang baik dalam tubuh (tanpa adanya kuman yang jahat), efek samping AB bertambah banyak, menimbulkan resistensi kuman terhadap AB yang merugikan seluruh masyarakat dan diri sendiri, kemungkinan komplikasi lebih besar, dan kembalinya anak ke dokter lebih sering karena terulang penyakitnya, serta menghabiskan biaya secara mubazir. Penyakit virus tidak perlu diobati AB bila ditemukan tanpa komplikasi. Antibiotik, misalnya amoksisilin juga tidak tepat untuk dipakai rutin sebagai obat pencegah komplikasi karena komplikasi sangat jarang (mungkin ~ 2 – 3 %) terjadi dan bila terjadi-pun antibiotiknya harus yang terpilih khas dan khusus efektif untuk kuman yang akan menghinggapi, dan ini tidak bisa diramalkan. Sebagai kesimpulan, AB untuk gondongan, measles, atau cacar air dan 5 jenis penyakit virus yang disebut di atas sebaiknya tidak dipakai lagi secara rutin oleh dokter kita dan masyarakat supaya tidak justru menagih pada dokter yang akan mengobatinya. Dr Iwan Darmansjah Mantan Ketua Panitia Evaluasi Obat, Departemen Kesehatan Add comment Januari 21, 2009 SALAH ANTIBIOTIK MEMBUAT BAYI SERING SAKIT http://www.tabloid-nakita.com/ Normal 0 false false false EN-US JA X-NONE
MicrosoftInternetExplorer4
Masalahnya, antibiotik bisa menimbulkan resistensi kuman
dan mengurangi
imunitas.
“Dok, saya bingung, bayi saya ini, kok, sering sekali bolak-balik berobat
karena penyakit yang sama, flu dan flu dan flu,” kata seorang ayah di
ruang
praktik dokter spesialis anak, yang segera dilanjutkan oleh istrinya,
“Iya, Dok. Padahal bayi saya ini sudah diperlakukan sesuai dengan apa
yang
dokter
sarankan, diberi ASI eksklusif, saya makannya sudah 4 sehat 5 sempurna
yang dimasak matang, kebersihan kamar dan rumah oke, begitu juga dengan
ventilasi udara dan cahaya, sudah sesuai standar kesehatan internasional,
deh.”
Sebelum si dokter sempat menjawab, si ibu kembali berkata, “Oh, ya, Dok,
di rumah saya tidak ada perokok, pendingin udara di kamar dipatok pada
suhu 25 derajat celcius, setiap pagi AC dimatikan dan membuka jendela
lebar-lebar. Juga tak hanya antibiotik, semua obat yang diberikan dokter
selalu
dihabiskan seperti apa kata dokter.”
Sambil menulis resep, si dokter menanggapi, “Bu-Pak, kita semua ini
manusia yang masih sedikit sekali ilmunya. Jadi pertahankan apa yang
telah
disebutkan Bapak dan Ibu tadi. Sekarang kita coba dulu dengan obat yang
ini, mudah-mudahan berhasil.”
“Basi!” Mungkin pernyataan ini yang akan keluar dari mulut si bapak dan
ibu tadi. Mungkin juga kita akan mengucapkan hal yang sama, jika hal
itu-itu
saja yang dikemukakan dokter setiap kali kita mempertanyakan kenapa si
kecil harus sakit saban minggu.
GARA-GARA ANTIBIOTIK
Menurut Prof. Iwan Darmansjah, MD, SpFK., bayi seharusnya ditakuti oleh
penyakit alias jarang sakit. Mengapa? “Karena bayi masih dibentengi
imunitas tinggi yang dibawanya dari dalam kandungan, juga diperoleh dari
air susu ibunya. Jadi, penyakit sehari-hari seperti flu úyang ditandai
(lagi.)
Add comment September 5, 2008
Minum Antibiotik Harus Tepat
Minum Antibiotik Harus Tepat
BANDUNG, (PR).-
Antibiotik sejak lama dianggap sebagai obat ajaib yang dapat membantu
memerangi infeksi bakteri. Banyak orang beranggapan, semua gangguan
kesehatan harus diatasi dengan antibiotik. Padahal, penggunaan
antibiotik yang tidak rasional justru dapat merugikan dan menyebabkan
resistensi bakteri.
Keterangan itu disampaikan Prof. Amin Soebandrio, dalam Seminar
Kesehatan Anak Paket Edukasi Orang Tua Sehat (Pesat) di Aula BAIS Jln.
Gunung Agung No. 14 Bandung, Sabtu (11/3).
“Antibiotik hanya digunakan bila benar-benar diperlukan untuk
mengobati infeksi bakteri. Jika gejala penyakit lebih ke arah infeksi
virus, maka antibiotik tidak akan menolong,” ujar Amin.
Dia menjelaskan, infeksi akibat bakteri yang memerlukan antibiotik,
antara lain memiliki gejala suhu tubuh tinggi berkepanjangan, cairan
hidung kental dan berwarna, serta batuk yang cukup lama. Sementara,
untuk flu akibat infeksi virus tidak memerlukan pengobatan antibiotik.
Sementara itu, dr. Purnamawati Sujud Pujiarto, Sp.A.K, mengatakan,
pasien atau konsumen harus mengetahui kapan mereka memerlukan
antibiotik dan kapan tidak perlu mengonsumsinya. Kesadaran semacam
itu, sangat membantu dokter karena tidak jarang justru pasien yang
minta diberikan antibiotik.
“Semakin sering kita mengonsumsi antibiotik untuk penyakit akibat
virus, semakin sering kita sakit. Penggunaan antibiotik yang
berlebihan tidak akan menguntungkan, bahkan merugikan dan
membahayakan,” katanya.
Ia menyesalkan, masih banyak pola pikir yang salah di masyarakat bahwa
penggunaan antibiotik dapat mempercepat kesembuhan termasuk pada
penyakit infeksi virus. Padahal, hasil penelitian membuktikan, tidak
ada perbedaan lama sakit antara kelompok yang memperoleh antibiotik
dan yang tidak.
Resistensi bakteri
Prof. Amin menjelaskan, penggunaan antibiotik yang berlebihan atau
tidak tepat, dapat menimbulkan resistensi bakteri. Artinya, bakteri
dapat bertahan terhadap pengaruh suatu antibiotik.
Ia juga menjelaskan, untuk mengembangkan antibiotik, memerlukan waktu
10-15 tahun, tetapi untuk bakteri agar resisten terhadap antibiotik,
hanya perlu waktu 2-3 tahun.
Keberadaan bakteri yang sudah resisten dalam tubuh individu, kata
Amin, juga dapat menimbulkan infeksi pada orang lain. Infeksi dapat
terjadi di rumah sakit, masyarakat, dan melalui makanan.
“Jika sampai terjadi resistensi bakteri, maka penyakit yang kita alami
biasanya bisa disembuhkan dengan antibiotik sederhana dan harga murah.
Maka, selanjutnya memerlukan antibiotik yang lebih kompleks dengan
harga ratusan ribu rupiah,” katanya.
Sementara itu, Purnamawati juga memaparkan, bakteri resisten
selanjutnya dapat menginfeksi seluruh populasi. Sedangkan tidak ada
antibiotik yang mempan membunuh bakteri resisten yang menginfeksi
populasi, sekalipun orang di populasi tersebut baru pertama kali
memakai antibiotik.
“Kenyataannya, kita terlalu boros dalam menggunakan antibiotik,
sehingga bisa menimbulkan dampak buruk antara lain sakit
berkepanjangan, biaya yang lebih tinggi, penggunaan obat yang lebih
toksik, dan waktu sakit yang lebih lama. Hal itu membuat kita dapat
menularkan kuman resisten kepada komunitas,” ujar Purnamawati.
Karena itu, menurut Purnamawati, pasien diharapkan tidak selalu
meminta dokter memberikan antibiotik terutama untuk penyakit infeksi
virus seperti flu, pilek, batuk, atau radang tenggorokan. (A-131)***
Sumber : Pikiran Rakyat
1 comment April 17, 2008
Sabun Anti Bakteri
Sabun antibakteri tidak lebih efektif dibanding sabun biasa
Kalbe.co.id – Menurut penelitian dari Universitas Michigan yang
mengkaji 27 studi yang dilakukan antara tahun 1980-2006 yang telah
dipublikasikan dalam jurnal Clinical Infectious Diseases bulan Agustus
2007, sabun antibakteri yang mengandung triklosan sebagai bahan aktif
utama tidak lebih baik dalam mencegah infeksi dibanding sabun
biasa/plain.
Tim tersebut juga menyimpulkan bahwa sabun antibakteri tersebut
sebenarnya dapat berisiko karena dapat mengurangi efektivitas beberapa
antibiotika yang umum digunakan seperti amoksisilin. Hal itu
dikarenakan tidak seperti sabun antibakteri yang digunakan pada rumah
sakit dan klinik lainnya, sabun antibakteri yang dijual ke masyarakat
umum tidak mengandung konsentrasi triklosan yang cukup tinggi untuk
membunuh bakteri seperti E.coli. Konsentrasi triklosan dalam sabun
antibakteri di pasaran adalah 0,1-0,45%.
Menurut Allison Aiello dari U-M School of Public Health, E.coli dapat
bertahan hidup pada konsentrasi triklosan dalam sabun antibakteri yang
diformulasi untuk konsumen. Jadi sabun yang mengandung triklosan yang
digunakan di masyarakat tidak lebih efektif dibanding sabun biasa
dalam mencegah gejala penyakit infeksi.
Lebih lanjut, studi ini juga menemukan bahwa sabun antibakteri yang
dijual ke masyarakat tidak menghilangkan lebih banyak bakteri dari
tangan dibanding sabun biasa.
Triklosan bekerja pada jalur biokimia dalam bakteri yang menyebabkan
bakteri mempertahankan dinding selnya tetap utuh. Hal tersebut
menyebabkan dapat terjadinya mutasi pada lokasi target. Aiello
mengatakan bahwa mutasi dapat berarti bahwa triklosan dapat tidak lagi
mencapat lokasi target dalam waktu yang lebih lama untuk membunuh
bakteri karena bakteri dan jalur biokimianya telah berubah bentuk,
sehingga bakteri menjadi resisten terhadap antibiotika. Perubahan
tersebut belum terdeteksi pada tingkat populasi, tetapi E.coli dalam
percobaan laboratorium menunjukkan resistensi jika dipaparkan sabun
triklosan 0,1%.
Analisis tersebut menyimpulkan bahwa badan regulator pemerintah
sebaiknya mengevaluasi klaim dan iklan produk antibakteri dan
mendorong penelitian lebih lanjut. Sedangkan FDA tidak secara formal
mengatur kadar triklosan yang digunakan dalam produk konsumen.
Produk antiseptik lain di pasaran yang mengandung bahan aktif lain
seperti alkohol dan bahan sanitasi tangan tidak diteliti dan
bahan-bahan aktif tersebut tidak diisukan.
sumber: http://www.kalbe.co.id/index.php?mn=news&tipe=detail&detail=19168
Add comment Maret 28, 2008
Antibiotic Overuse!
It’s that time of year when everyone seems to be getting sick. Colds,
coughs, the flu-you name it, somebody has some type of upper
respiratory infection. One morning, your child wakes up with a slight
fever, a stuffed-up nose and a cough. You take her to the doctor,
expecting an antibiotic. The doctor tells you that antibiotics are not
always the answer. Why?
Did you know .
a.. Two main types of germs – bacteria and viruses – cause
infections. Bacterial infections can be cured by antibiotics – viral
infections cannot.
b.. Viral infections cause most coughs (bronchitis), sore throats
and all colds and flu. You recover from viruses when the illness has
run its course.
c.. Bronchitis is just another name for cough illness. There is a
mistaken belief that antibiotics are needed for bronchitis. They are
rarely helpful, but everyone thinks antibiotics as soon as they hear
the word bronchitis. This is not true!
d.. Viral infections may sometimes lead to bacterial infections.
However, treating viral infections with antibiotics to prevent a
bacterial infection does not work.
e.. Antibiotics are among the most powerful and important medicines
known. Each time antibiotics are taken, sensitive bacteria are killed,
but resistant ones remain to grow and multiply. Some resistant strains
of bacteria are already untreatable.
f.. Antibiotic-resistant bacteria can be spread to others in the
family and the community. These germs multiply and soon many people
are carrying resistant bacteria. Stronger antibiotics will be needed
in the future to fight these resistant strains.
Let your doctor decide if you need an antibiotic. Here are some examples:
Ear infections: There are several types; most need antibiotics, but
some do not.
Sinus infections: Antibiotics are needed for some long-lasting or
severe cases. Most people can’t tell if they have a cold or sinus
infection, but it’s most likely a cold if symptoms have been present
for less than 10 to 14 days.
Bronchitis/Cough: Antibiotics are rarely needed for bronchitis or cough.
Sore throat: Viruses cause most cases. Only one kind, “strep throat,”
needs an antibiotic. A lab test is needed to determine if “strep”
bacteria are present.
Colds: Antibiotics have no effect on colds.
You can help your child feel better by:
a.. Using saltwater nose drops four to five times per day. This is
probably the best thing you can do to help the symptoms of a cold.
Saltwater applied to the lining of the nose helps to clear the extra
fluid and therefore helps to decrease congestion and cough. You can
buy drops at your pharmacy, or you can make your own by mixing ¼
teaspoon of salt with 8 ounces of warm water. New mixtures should be
made every day. You will need a bulb aspirator, which you can purchase
at any pharmacy. Ask your pharmacist or doctor for help on how to use
these drops.
b.. Being sure your child gets plenty of rest.
c.. Drinking lots of liquids. This is really true! Children lose
fluids when they have a cold. Replace these fluids with water, juices
or soups.
d.. Decongestants work for adults, but they may not be as effective
in children. Talk to your doctor about whether they may be helpful.
Get Smart About Antibiotics!
Add comment Maret 13, 2008
Common Q Quick A Antibiotics
source : http://lib.cpums.edu.cn/jiepou/tupu/atlas/www.vh.org/pediatric/patient/pediatrics/cqqa/antibioticsandkids.html
a.. What are antibiotics?
b.. What kinds of germs make your child sick?
c.. How do antibiotics work?
d.. When are antibiotics needed?
e.. What should I do if my child needs an antibiotic?
f.. What is bacterial resistance?
g.. How can we help prevent bacterial resistance?
h.. What are possible side effects of antibiotics?
i.. What are signs of a severe reaction?
j.. Call your doctor at once if your child has one of these reactions
k.. When should I call the doctor?
What are antibiotics?
a.. Antibiotics are strong medicines used to treat sicknesses called
infections
b.. Infections can be caused by germs called bacteria, or viruses.
c.. Antibiotics kill bacteria only. They do not kill viruses.
d.. When used properly, they can save lives.
e.. When not used properly, they could hurt your child.
What kinds of germs make your child sick?
a.. There are two main types of germs: bacteria and
(lagi.)
Add comment Maret 13, 2008
Antibiotics
Q: Why don’t antibiotics treat viral infections? I’m tired of going to
the doctor when I’m sick and being told that I have a virus and that I
should just go home and wait it out. Why don’t doctors at least try a
broad-spectrum antibiotic to see if it helps?
A:
When you’re sick, you want to feel better. Your doctor wants to help
you feel better. But sometimes that’s not possible. Your doctor may be
able to identify the likely source of your illness by your signs and
symptoms and by the results of a physical exam. In some cases, lab
tests can help identify the cause. If you have an infection, your
doctor will try to establish whether it’s bacterial or viral.
The practical reason for this is: There are antibiotics that can
effectively treat most bacterial infections. They do this by
interfering with a key process that keeps the bacteria alive. But
these antibiotics can’t affect viral infections because viruses are
very different from bacteria. As a result, antibiotics can’t kill
viruses as they can many bacteria.
It’s critical that you don’t use antibiotics unless you have a
bacterial infection. Overuse of antibiotics has contributed to an
increase in the number and severity of drug-resistant bacterial
infections. Also, antibiotics may cause side effects such as rashes,
diarrhea and nausea. In some people, they may cause serious and even
fatal reactions.
The next time you’re sick and your doctor doesn’t advise antibiotics,
you may consider asking your doctor:
a.. For suggestions to help you feel better while your body recovers
b.. For specific symptoms you should watch for
Ever since antibiotics became widely available about 50 years ago,
they have been hailed as miracle drugs-magic bullets able to destroy
disease-causing bacteria.
But with each passing decade, bacteria that resist not only single,
but multiple, antibiotics-making some diseases particularly hard to
control-have become increasingly widespread. In fact, according to the
Centers for Disease Control and Prevention (CDC), virtually all
significant bacterial infections in the world are becoming resistant
to the antibiotic treatment of choice. For some of us, bacterial
resistance could mean more visits to the doctor, a lengthier illness,
and possibly more toxic drugs. For others, it could mean death. The
CDC estimates that each year, nearly 2 million people in the United
States acquire an infection while in a hospital, resulting in 90,000
deaths. More than 70 percent of the bacteria that cause these
infections are resistant to at least one of the antibiotics commonly
used to treat them.
Antibiotic resistance, also known as antimicrobial resistance, is not
a new phenomenon. Just a few years after the first antibiotic,
penicillin, became widely used in the late 1940s, penicillin-resistant
infections emerged that were caused by the bacterium Staphylococcus
aureus (S. aureus). These “staph” infections range from urinary tract
infections to bacterial pneumonia. Methicillin, one of the strongest
in the arsenal of drugs to treat staph infections, is no longer
effective against some strains of S. aureus. Vancomycin, which is the
most lethal drug against these resistant pathogens, may be in danger
of losing its effectiveness; recently, some strains of S. aureus that
are resistant to vancomycin have been reported.
Although resistant bacteria have been around a long time, the scenario
today is different from even just 10 years ago, says Stuart Levy,
M.D., president of the Alliance for the Prudent Use of Antibiotics.
“The number of bacteria resistant to many different antibiotics has
increased, in many cases, tenfold or more. Even new drugs that have
been approved are confronting resistance, fortunately in small
amounts, but we have to be careful how they’re used. If used for
extended periods of time, they too risk becoming ineffective early
on.”
How Resistance Occurs
Bacteria, which are organisms so small that they are not visible to
the naked eye, live all around us-in drinking water, food, soil,
plants, animals, and in humans. Most bacteria do not harm us, and some
are even useful because they can help us digest food. But many
bacteria are capable of causing severe infections.
The ability of antibiotics to stop an infection depends on killing or
halting the growth of harmful bacteria. But some bacteria resist the
effects of drugs and multiply and spread.
Some bacteria have developed resistance to antibiotics naturally, long
before the development of commercial antibiotics. After testing
bacteria found in an arctic glacier and estimated to be over 2,000
years old, scientists found several of them to be resistant against
some antibiotics, most likely indicating naturally occurring
resistance.
If they are not naturally resistant, bacteria can become resistant to
drugs in a number of ways. They may develop resistance to certain
drugs spontaneously through mutation. Mutations are changes that occur
in the genetic material, or DNA, of the bacteria. These changes allow
the bacteria to fight or inactivate the antibiotic.
Bacteria also can acquire resistant genes through exchanging genes
with other bacteria. “Think of it as bacterial sex,” says David White,
Ph.D., a microbiologist in the Food and Drug Administration’s Center
for Veterinary Medicine. “It’s a simple form of mating that allows
bacteria to transfer genetic material.” The bacteria reproduce
rapidly, allowing resistant traits to quickly spread to future
generations of bacteria. “The bacteria don’t care what other bacteria
they’re giving their genes to,” says White. This means that resistance
can spread from one species of bacteria to other species, enabling
them to develop multiple resistance to different classes of
antibiotics.
Combating Resistance
In 1999, 10 federal agencies and departments, led by the Department of
Health and Human Services, formed a task force to tackle the problem
of antimicrobial resistance. Co-chaired by the CDC, the FDA, and the
National Institutes of Health, the task force issued a plan of action
in 2001. Task force agencies continue to accomplish the activities set
forth in the plan. The success of the plan-known as the Public Health
Action Plan to Combat Antimicrobial Resistance-depends on the
cooperation of many entities, such as state and local health agencies,
universities, professional societies, pharmaceutical companies,
health-care professionals, agricultural producers, and the public.
All of these groups must work together if the antibiotic resistance
problem is to be remedied, says Mark Goldberger, M.D., director of the
FDA’s office responsible for reviewing antibiotic drugs. “This is a
very serious problem. We need to do two things: facilitate the
development of new antimicrobial therapy while at the same time
preserve the usefulness of current and new drugs.”
Preserving Antibiotics’ Usefulness
Two main types of germs-bacteria and viruses-cause most infections,
according to the CDC. But while antibiotics can kill bacteria, they do
not work against viruses-and it is viruses that cause colds, the flu,
and most sore throats. In fact, only 15 percent of sore throats are
caused by the bacterium Streptococcus, which results in strep throat.
In addition, it is viruses that cause most sinus infections, coughs,
and bronchitis. And fluid in the middle ear, a common occurrence in
children, does not usually warrant treatment with antibiotics unless
there are other symptoms. (See “Fluid in the Middle Ear.”)
Nevertheless, “Every year, tens of millions of prescriptions for
antibiotics are written to treat viral illnesses for which these
antibiotics offer no benefits,” says David Bell, M.D., the CDC’s
antimicrobial resistance coordinator. According to the CDC, antibiotic
prescribing in outpatient settings could be reduced by more than 30
percent without adversely affecting patient health.
Reasons cited by doctors for overprescribing antibiotics include
diagnostic uncertainty, time pressure on physicians, and patient
demand. Physicians are pressured by patients to prescribe antibiotics,
says Bell. “People don’t want to miss work, or they have a sick child
who kept the whole family up all night, and they’re willing to try
anything that might work.” It may be easier for the physician pressed
for time to write a prescription for an antibiotic than it is to
explain why it might be better not to use one.
But by taking an antibiotic, a person may be doubly harmed, according
to Bell. First, it offers no benefit for viral infections, and second,
it increases the chance of a drug-resistant infection appearing at a
later time.
“Antibiotic resistance is not just a problem for doctors and
scientists,” says Bell. “Everybody needs to help deal with this. An
important way that people can help directly is to understand that
common illnesses like colds and the flu do not benefit from
antibiotics and to not request them to treat these illnesses.”
Following the prescription exactly is also important, says Bell.
People should not skip doses or stop taking an antibiotic as soon as
they feel better; they should complete the full course of the
medication. Otherwise, the drug may not kill all the infectious
bacteria, allowing the remaining bacteria to possibly become
resistant.
While some antibiotics must be taken for 10 days or more, others are
FDA-approved for a shorter course of treatment. Some can be taken for
as few as three days. “I would prefer the short course to the long
course,” says Levy. “Reservoirs of antibiotic resistance are not being
stimulated as much. The shorter the course, theoretically, the less
chance you’ll have resistance emerging, and it gives susceptible
strains a better chance to come back.”
Another concern to some health experts is the escalating use of
antibacterial soaps, detergents, lotions, and other household items.
“There has never been evidence that they have a public health
benefit,” says Levy. “Good soap and water is sufficient in most
cases.” Antibacterial products should be reserved for the hospital
setting, for sick people coming home from the hospital, and for those
with compromised immune systems, says Levy.
To decrease both demand and overprescribing, the FDA and the CDC have
launched antibiotic resistance campaigns aimed at health-care
professionals and the public. A nationwide ad campaign developed by
the FDA’s Center for Drug Evaluation and Research emphasizes to
health-care professionals the prudent use of antibiotics, and offers
them an educational brochure to distribute to patients.
The FDA published a final rule in February 2003 that requires specific
language on human antibiotic labels to encourage doctors to prescribe
them only when truly necessary. The rule also requires a statement in
the labeling encouraging doctors to counsel their patients about the
proper use of these drugs.
Stimulating Drug Development
The FDA is working to encourage the development of new antibiotics and
new classes of antibiotics and other antimicrobials. “We would like to
make it attractive for the development of new antibiotics, but we’d
like people to use them less and only in the presence of bacterial
infection,” says Goldberger. This presents a challenge, he says.
“Decreased use may result in sales going down, and drug companies may
feel there are better places to put their resources.”
Through such incentives as exclusivity rights, the FDA hopes to
stimulate new antimicrobial drug development. Exclusivity protects a
manufacturer’s drug from generic drug competition for a specific
length of time.
The FDA has a variety of existing regulatory tools to help developers
of antimicrobial drugs. One of these is an accelerated approval
process for drugs that treat severely debilitating or life-threatening
diseases and for drugs that show meaningful benefit over existing
prescription drugs to cure a disease.
The FDA is also investigating other approaches for speeding the
antimicrobial approval process. One approach is to reduce the size of
the clinical trial program. “We need to streamline the review process
without compromising safety and effectiveness,” says Goldberger. “One
of the things that we are trying to look at now is how we can
substitute quality for quantity in clinical studies.” It has been
difficult to test drugs for resistance in people, says Goldberger.
“Although these resistant organisms are a problem, they are still not
so common that it is very easy to accumulate patients.”
Research
Scientists and health professionals are generally in agreement that a
way to decrease antibiotic resistance is through more cautious use of
antibiotic drugs and through monitoring outbreaks of drug-resistant
infections.
But research is also critical to help understand the various
mechanisms that pathogens use to evade drugs. Understanding these
mechanisms is important for the design of effective new drugs.
The FDA’s National Center for Toxicological Research (NCTR) is
studying the mechanisms of resistance to antibiotic agents among
bacteria from the human gastrointestinal tract, which can cause
serious infections.
In addition, the NCTR has studied the amount of antibiotic residues
that people consume in food from food-producing animals and the
effects of these residues on human intestinal bacteria. This
information led to a new approach for assessing the safety of
antibiotic drug residues in people, which may be adopted by the FDA to
help review drugs for food animals.
To find out more about the broad range of issues associated with
antimicrobial resistance, see the FDA’s Web site at
www.fda.gov/oc/opacom/hottopics/anti_resist.html, and the CDC’s Web
site at www.cdc.gov/drugresistance/.
Linda Bren is a staff writer for FDA Consumer.
——————————————————————————–
Upper Respiratory Infections and Antibiotics
Most upper respiratory infections are usually caused by viruses-germs
that are not killed by antibiotics. Talk with your doctor about ways
to feel better when you are sick. Ask what you should look for at home
that might mean you are developing another infection for which
antibiotics might be appropriate.
Illness
Antibiotic usually needed?
Cold
No
Flu
No
Chest Cold
(in otherwise healthy children and adults)
No
Sore Throats
(except strep)
No
Bronchitis
(in otherwise healthy children and adults)
No
Runny Nose
(with green or yellow mucus)
No
Fluid in the Middle Ear
(otitis media with effusion)
No
Source: Centers for Disease Control and Prevention
——————————————————————————–
Fluid in the Middle Ear
Fluid in the middle ear, also called otitis media with effusion, is a
common condition in children. Fluid often accumulates in the ear, just
like in the nose, when a child has a cold. In the absence of other
symptoms, fluid in the middle ear usually doesn’t bother children, and
it almost always goes away on its own without treatment, says Janice
Soreth, M.D., director of the FDA’s Division of Anti-Infective Drug
Products. “It usually does not need to be treated with antibiotics
unless it is accompanied by additional signs or symptoms or it lasts a
couple of months.”
If your doctor does not prescribe an antibiotic for your child, do not
insist on one. Taking an antibiotic when it is not necessary can be
harmful. It increases the risk of getting an infection later that
antibiotics cannot kill.
Instead, “observe your child,” says Soreth. “If symptoms change, call
your doctor to seek further help.” Symptoms to watch for include
fever, irritability, decreased appetite, trouble sleeping, tugging on
the ear, or complaints of pain. “If symptoms occur, it doesn’t mean
the doctor misdiagnosed the condition,” says Soreth. “What started out
as a viral condition may have morphed into a bacterial infection
several days later. If this happens, an antibiotic may be
appropriate.”
——————————————————————————–
What You Can Do to Help Curb Antibiotic Resistance
a.. Don’t demand an antibiotic when your health-care provider
determines one isn’t appropriate. Ask about ways to help relieve your
symptoms.
b.. Never take an antibiotic for a viral infection such as a cold, a
cough, or the flu.
c.. Take medicine exactly as your health-care provider prescribes.
If he or she prescribes an antibiotic, take it until it is gone, even
if you’re feeling better.
d.. Don’t take leftover antibiotics or antibiotics prescribed for
someone else. These antibiotics may not be appropriate for your
current symptoms. Taking the wrong medicine could delay getting
correct treatment and allow bacteria to multiply.

http://www.inspirasidaily.com/category/kesehatan

No comments:

Post a Comment