Dua Demam Berbarengan

Ketika "demam" Piala Dunia berlangsung, kami sekeluarga sedang dilanda "demam" sakit mata. Dibanding anak-anak dan istri saya, sakit mata saya adalah yang terparah. Tidak cuma terparah di antara keluarga tetapi juga terparah di sekujur hidup saya selama saya menyandang sakit serupa. Karena sebetulnya sakit mata seperti ini hanyalah sebentuk "arisan". Setiap dari kita berkewajiban setidaknya sekali dalam seumur hidup untuk mencicipinya.
Tapi sakit yang kali ini saya derita benar-benar ekstra kalibernya. Bermula dari anak lelaki saya yang tertular dari teman sekolahnya, dan teman itu tertular entah dari siapa dan seterusnya, kami serumah segera roboh satu persatu bagai rumah kartu. Ketika anak saya mulai mengucek-ucek matanya yang merah dan gatal, saya mengajak seluruh anggota keluarga untuk rela dan siaga. Jika masih mungkin kami hindari, jika tidak kami menyatakan siap menyambut penyakit ini. Sebagai penambah ketabahan kami malah menyambutnya sebagai sebuah perayaan cinta. Maka kepada anak lelaki saya sebagai penderita pertama kami malah bersikap ekstra mesra. Memeluknya lebih sering, lebih lama dan lebih apa saja dari hari-hari biasa.
Hasilnya syukurlah, kami semua tertular dengan ikhlas dan gembira. Walau saya tak menduga bengkak di mata saya adalah jenis yang belum pernah saya derita sebelumnya. Sore meradang malam sudah melepuh sedemikian rupa. cuma untuk melek sedikit saja sakitnya menyengat kemana-mana. Terbaik yang bisa saya lakukan hanyalah memejamkan mata. Dua hari penuh puncak sakit itu dengan mata cuma kuat terpejam saja. Jadi pada dasarnya selama dua hari itu saya sudah setara dengan orang buta. Tak terkira kerinduan saya atas cahaya tapi begitu mata memicing sedikit saja, cahaya itu akan serupa anak panah yang merobek kornea. Hampir kacau otak saya oleh sakit ini kalau saja saya tidak melihat derita yang sama pada keluarga saya.
Melihat anak-anak dan istri rebah beregu dan masing-masing cuma bisa mengurus deritanya sendiri, saya malah terdorong untuk melakukan konsolidasi. Pertama adalah mensyukuri bahwa betapapun kami tumbang bersama, derita mereka tidak separah saya. Anak-anak malah masih sempat bercanda dan merengek untuk boleh nonton televisi. Istri, meskipun dengan gerak lambat dan hati-hati tetap sanggup mengerjakan tugasnya sehari-hari. Memang cuma saya yang rebah total oleh wabah mata ini. Tetapi sambil menahan sakit setidaknya saya tidak menanggung iba karena anak-anak tidak diganjar tingkat keparahan yang sama. Saya juga cemas membayangkan betapa berat tingkat kelumpuhan keluarga seandainya istri juga cuma bisa rebah dan tergolek seperti saya.
Tapi meskipun tingkat keparahan kami beragam, intinya kami tumbang bersama. Kenyataan ini segera membuat refleks saya bekerja untuk bertanya, ada apa? Satu pertanyaan dimunculkan berderet jawaban bermunculan. Ada yang bersifat imajinatif, ada yang spekulatif dan ada introspektif.
Yang imajinatif itu misalnya, jangan-jangan sakit kami sekeluarga ini karena memang tidak diperkenankan nonton Piala Dunia. Alasannya agak spekulatif, yakni agar kami memiliki mental introspektif. Karena sehari sebelum pesta bola sejagat itu digelar ada sebuah karnaval di jalan raya sebuah kota di Indonesia untuk menyambutnya. Acara nonton bareng, begadang bareng, bursa taruhan dan tebak-tebakan berlangsung di sekujur negara sampai kita lupa bahwa sepanjang sejarah, belum pernah timnas Indonesia berprestasi di ajang Piala Dunia.
Jadi sakit mata kami ini seperti memaksa kami melihat bahwa pesta yang kami rayakan besar-besaran ini sesungguhnya bukan pesta kami. Merayakan dengan gegap gempita prestasi yang kami tidak memiliki baru terasa sebagai aneh dan sarat dengan kompensasi. Kami gagal bahagia dengan sepak bola sendiri yang penuh bonek, penuh wasit dipukuli, sehingga terpaksa nebeng kegembiraan pada pihak lain yang berprestasi. Sakit mata ini memang tak bisa membuat kami bisa menonton Piala Dunia setidaknya di minggu pertama, tapi kami sanggup melihat apa yang tidak kami rasa sebelumnya.


[Prie GS adalah seorang budayawan dan penulis buku "Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia". Saat ini, ia tinggal di Semarang, Jawa Tengah.]

No comments:

Post a Comment