Tendangan Terakhir

Jika seorang bawahan ditekan atasan ia akan ganti menekan bawahan. Jika bawahan ini tak lagi punya bawahan ia akan pulang dan mengomeli istrinya. Jika ia adalah jenis suami takut istri, bisa-bisa akan menendang kucingnya. Ada kucing yang kebagian menerima tendangan terakhir semacam ini, tanpa hewanini mengertiapa gerangan yang sedang terjadi. Kita sebut saja urut-urutan tekanan ini sebagai "pola arisan".

Maka marilah melacak asal-usul tendangan ini. Itulah tendangan yang berasal dari ketertekanan hati yang bisa datang dari banyak sisi. Setiap hidup berjalan maju, ia akan punya sisi baru. Dari sisi yang baru itu pula akan muncul tekanan baru. Artinya, tekananitu akan selalu ada karena terus mengikuti. Artinya, jika tekanan semacam ini masih disikapi dengan pola arisan, maka akan makin banyak lagi kucing yang ditendangi.

Kemarahan dan keterkanan hati itu, sesungguhnya hanya perlu dikelola relatif dengan cara sederhana. Obati saja dengan obat-obat yang tersedia. Karena semakin sadar obat, semakin banyak obat ditemukan di sekitar di balik soal-soal yang tak terduga. Kini jelas sudah manfaat buah mengkudu, rumput ilalang bahkan hewan undur-undur. Nama-nama ini, adalah nama yang sangat lama dbiarkansebagaisi remeh semata. Maka kini, tegaskan saja: tidak ada barang remeh di dunia. Yang ada hanyalah soal soal yang belum kita tahu apa maknanya.

Modal berpikir semacam ini besar sekali manfaatnya, termasuk untuk mengantisipasi kemarahan. Rasa marah itu, sejauh pengalaman saya, ternyata bukan bersumber pada betapa besar hinaanseseorang pada kita, tetapi lebih bersumber pada kerapuhan diri saya sendiri saja. Malah kalau saya sendangbegitu rapuhnya, apa saja bisa saya curigai sebagai sedang menghina. Tapi semakin kuat pertahanan saya, ternyata apa yang semula saya rasa sebagai tekanan, itu mulai saya lihat derngan cara berbeda. Ada yang terasa sebagai irama hidup saja, ada gembira ada sedih, ada duduk ada berdiri. Pada level ini memang masih terasa beratnya berdiri dan enaknya duduk. Gembiranya senang dan susahnyasedih.

Tapi ada juga level kedua, yakni ketika duduk dan berdiri malah terasa sebagaisenam pagi saja. Seperti layaknya orang hendakbersenam, ada rasa berat dan malas pada awalnya, tetapi toh kita lakukan juga karena mulai percaya pada hasilnya. Hasil akhir darisebuah senam selalu berarti makan dengan lahap dan kesegaran tubuh yang nyata.

Padahal masih ada level yang ketiga yakni ketika duduk dan berdiri sudah terasa sama saja. Bukan dari aspek rasanya, tetapi dariaspek keyakinana kita. Soal rasa, sebetulnya bisa tetap belaka. Sedih tetap sedih,senang tetap senang. Tetapi level ketiga ini sudahdilengkapi dengan kemampuan tidak merasa apa yang sedang dirasa dan merasa apa yang sedang tidak dirasa.
 

Dari mana tiga keadaan ini akan kita dapatkan? Dari latihan yang dekat-dekat saja, sedekat kita menemukan buah mengkudu, rumput ilalang dan hewan undur-undur itu. Simak saja, jika Anda sedang tertekan, diamlah, tunggulah sejenak saja, adakah obat baginya, tanpa Anda repot-repot mencarinya. Misalnya, obat itu akan datang dari senyum anak-anak Anda, kesabaran istri Anda atau tubuh bongkok seorang tua yang di siang terik masih berkeliling di sekujur kampung sambil memikul tangga bambu sebagai dagangannya. Menyadari bahwa di dunia ini pihak yang sedang tertekan bukan cuma saya, ternyata mendatangkan rasa malu luar biasa. Itulah "obat" yang begitu dekat, cuma karena dekatnya, malah sering kita anggap tidak ada.
 
[Prie GS adalah seorang budayawan dan penulis buku "Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia". Saat ini, ia tinggal di Semarang, Jawa Tengah]
 

No comments:

Post a Comment