Kekuatan Iba

Saya curiga, apa saja yang saya peroleh ini, lebih karena energi iba, bukan energi usaha. Artinya, ketika saya mendapatkan sesuatu, bukan karena kehebatan usaha saya, melainkan lebih karena pihak lain memberikannya kepada saya. Karena sekuat-kuat saya meminta, bisa apa saya kalau yang saya minta tidak memberikan.

Ketika saya menulis kolom, lebih karena saya diberi kesempatan untuk menulis, bukan karena kehebatan tulisan saya. Membaca ulang tulisan-tulisan lama saya, malah menimbulkan rasa malu dan bersalah saja. Bagaimana mungkin saya bisa menulis seperti itu? Tapi yang lebih luar biasa, bagaimana mungkin ada pihak yang mau memuat tulisan seperti itu.

Jadi energi pemberian itu pasti lebih dominan katimbang energi berusaha. Usaha itu ternyata hanya butuh secukupnya. Karena betapapun dicukup-cukupkan, seluruh kecukupan itu tak akan cukup juga. Sekuat-kuatnya cangkul tak akan kuat menuntaskan semua ladang. Sejauh-jauh orang bepergian, masih jauh jumlah tujuan. Jadi jika saya merasa pergi jauh, bukan saya yang sanggup berjalan jauh, melainkan jarak itulah yang mendekat kepada saya. Tak pernah saya membayangkan naik haji. Pertama karena kelakuan saya, kedua karena jauhnya, dan ketiga karena biayanya. Tetapi ketiga hambatan besar itu dikecilkan oleh alam untuk saya.

Menyangkut soal kelakuan saya yang buruk misalnya, selalu tersedia orang-orang yang sabar dan memaafkan. Sebesar-besarnya aib, ada saja pihak-pihak yang menyediakan dinding rahasia. Karena walaupun saya bukan penjahat, jika seluruh aib saya dibuka, tidak kuat saya menanggungnya. Menyangkut jarak yang jauh itu telah didekatkan oleh pengetahuan yang membawa percepatan. Siang saya masih di sini, esok hari saya sudah di sana, pindah dengan kecepatan suara.

Perpindahan yang pasti mahal biayanya. Tetapi menjadi murah karena ada pihak yang meringankan. Saya memang bisa berusaha, tetapi sekuat apapun sebuah usaha, sebetulnya cekak saja batasnya. Untuk sekedar melemparkan raga ini ke kampung sebelah saja tak cukup tenaga saya. Jadi kalau saya sampai berada ke lain benua dengan waktu yang singkat pula, itu pasti karena saya dilontarkan bukan saya yang melakuan lontaran.

Menyadari fakta ini, maka seluruh usaya yang saya lakukan itu tak lebih kelengkapan administratif saja. Semacam berkas legalitas. Ia seperti KTP, SIM dan surat lamaran. Pada dasaraya, ia hanya kertas dan stempel. Secara fisik itu sungguh barang-barang murah. Murah tapi harus ada. Ia gampang tapi tidak boleh digampangkan. Ia kecil tetapi inti dari gerakan. Maka usaha itu memang remeh saja fisiknya. Tapi harus ada. SIM itu hanya kertas dan stempel tetapi harus ada jika Anda ingin berkendara. Ijazah itu juga cuma sesobek kertas, tapi harus disertakan kalau Anda melamar kerja. Sertifikat itu juga cuma berkas. Tetapi harganya bisa membuat bank menerima sebagai agunan.

Begitu sederhana sebuah usaha, tetapi begitu mutlak kedudukannya. Yang penting usaha, begitulah memang rumusnya. Ayo menepati usaha, walau kekuatan kita cuma sekadar melambaikan tangan. Tapi memang hanya dengan satu lambaian itulah, bahkan sebuah bus yang raksasa mau berhenti untuk kita!

[Prie GS adalah seorang budayawan dan penulis buku "Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia". Saat ini, ia tinggal di Semarang, Jawa Tengah.]

No comments:

Post a Comment