Betapapun saya ingin melihat hewan-hewan di rumah hidup rukun, tapi selalu ada saja kejadian yang berlangsung di luar keinginan. Kucing kami misalnya, punya hobi memburu cicak bukan untuk dimakan, tapi sekadar dibunuh dan dipermainkan. Padahal cicak adalah binatang yang kami sayangi. Di dunia nyata, ia adalah predator pemangsa nyamuk, sementara di dunia metafora ia adalah gambaran KPK yang dikriminalisasi. Jadi melihat cicak tak berdosa itu mati sia-sia selalu kami sambut dengan iba. Binatang yang malang itu sering kami angkat dengan kertas tisu untuk kemudian kami tempatkan di tempat yang selayaknya.
Tetapi kucing itu juga tak bisa kami marahi. Ia kesayangan keluarga, dan jika ia pergi sebentar saja kebingungan anak-anak langsung begitu nyata. Banyak cerita kenapa kucing ini menjadi bagian dari keluarga tapi itu terlalu panjang untuk diceritakan di sini. Saya ceritakan langsung hasil akhirnya saja, bahwa buahnya ia menikmati kemanjaan penuh. Apa saja di rumah kami boleh ia tiduri, sesuatu yang bahkan saya tidakkuasamencegah walau sebenarnya saya tidak setujui. Jika saya kasar sedikit kepadanya seluruh anggota keluarga akan tampil membela. Jika salah satu dari kami pergi ke dokter, biasanya cuma sebagian anggota keluarga yang menemani. Tapi jika kucing ini harus ke dokter, seluruh dari kami harus berangkat bersama. Sebab kalau dia perlu disuntik, harus ada yang membujuk, memegangi di sana-sini: ada kepala, ada kaki, dan ada yang sama sekali tidak memegang apa-apa karena ngeri, tapi tetap harus melihat prosesnya karena rasa cintanya. Intinya, kecintaan kami kepada kucing ini tak perlu diragukan lagi. Melihat dua pihak yang kami cintai saling melukai, pasti membuat sedih hati.
Padahal tak cuma kucing dan cicak yang kami cintai. Nasib semut pun kami perhatikan. Di rumah, saya masih suka menyempatkan ngepel lantai sendiri karena sebuah alasan. Dan semutlah pihak yang paling gemar menghalangi. Kadang mereka berjalan beringingan untuk satu tujuan. Rapi sekali cara semut ini berbaris. Taat sistem dan tidakada yang menyalip karena merasa paling sibuk dan paling berhak buru-buru. Siapa yang di belakang percaya seratus persen kepadayang didepan. Begitu seterusnya. Semut yang paling belakang, amat menaruh kepercayaan kepada semut yang paling depan walau jarak mereka lebar membentang. Karena terbiasa takjub pada ketertipan semut ini, tak tega rasanya untuk menghalau mereka begitu saja. Jika barisan ini butuh saya bubarkan, cukup saya tiup saja pelan-pelan, itupun dengan perasaan bersalah. Dan tidak sekalidua kali, saya mendapati bukti, bahwa dengan tiupan sederhana, barisan semut ituseperti mengerti dan menyingkir pelan-pelan lalu lenyap masuk liang.
Tetapi walaupunsudahbegini hati-hati kami memperlakukan mereka, menggilas satu dua semut yang lepas dari barisan, dan terutama terlepas dari penglihatan adalah soal yang tak terhindarkan. Tak terkira penyesalan hati saya, tetapi sangat tidak mungkin untuk sama sekali menghindari. Tapi jangankan semut dan cicak, apa pun yang kita cintai ini ternyata memiliki gerak hidup di luar cinta itu sendiri. Ia memiliki garis kemungkinannya sendiri yang sama sekali tak bisa kita kendalikan cuma karena ia kita cintai. Bahkan anak-anak yang amat kita sayangi pun tidak tercegah ketika mereka harus membesar, beranak pinak dan pergi. Jangankan cuma anak, bahkan kita pun tidak pernah benar-benar berkuasa atas nasib diri sendiri. Apalagi yang disebut ‘'diri'' itu adalah medan yang begitu luas. Cuma mengendalikan kepala saja, yang merupakan bagian kecil dari diri itu, kita tidak berdaya. Jika kepala itu ingin pusing dan berdenyut, ya berdenyut saja, tanpa pernah minta persetujuan kita.
Jika nasib kepala saja sudah di luar pemiliknya, apalagi nasib kita seluruhnya. Kita yang hari ini berada di sebuah keaadaanseperti ini, adalah hasildari sebuah keadaan yang tidak sepenuhnya kita kuasai, tetapi kebaikannya selalu terbukti. Jadi itulah watak hidup yangsebetulnya penuh niat baik walau caranya mungkin tak selalu kita sukai.
(Prie GS)
Tetapi kucing itu juga tak bisa kami marahi. Ia kesayangan keluarga, dan jika ia pergi sebentar saja kebingungan anak-anak langsung begitu nyata. Banyak cerita kenapa kucing ini menjadi bagian dari keluarga tapi itu terlalu panjang untuk diceritakan di sini. Saya ceritakan langsung hasil akhirnya saja, bahwa buahnya ia menikmati kemanjaan penuh. Apa saja di rumah kami boleh ia tiduri, sesuatu yang bahkan saya tidakkuasamencegah walau sebenarnya saya tidak setujui. Jika saya kasar sedikit kepadanya seluruh anggota keluarga akan tampil membela. Jika salah satu dari kami pergi ke dokter, biasanya cuma sebagian anggota keluarga yang menemani. Tapi jika kucing ini harus ke dokter, seluruh dari kami harus berangkat bersama. Sebab kalau dia perlu disuntik, harus ada yang membujuk, memegangi di sana-sini: ada kepala, ada kaki, dan ada yang sama sekali tidak memegang apa-apa karena ngeri, tapi tetap harus melihat prosesnya karena rasa cintanya. Intinya, kecintaan kami kepada kucing ini tak perlu diragukan lagi. Melihat dua pihak yang kami cintai saling melukai, pasti membuat sedih hati.
Padahal tak cuma kucing dan cicak yang kami cintai. Nasib semut pun kami perhatikan. Di rumah, saya masih suka menyempatkan ngepel lantai sendiri karena sebuah alasan. Dan semutlah pihak yang paling gemar menghalangi. Kadang mereka berjalan beringingan untuk satu tujuan. Rapi sekali cara semut ini berbaris. Taat sistem dan tidakada yang menyalip karena merasa paling sibuk dan paling berhak buru-buru. Siapa yang di belakang percaya seratus persen kepadayang didepan. Begitu seterusnya. Semut yang paling belakang, amat menaruh kepercayaan kepada semut yang paling depan walau jarak mereka lebar membentang. Karena terbiasa takjub pada ketertipan semut ini, tak tega rasanya untuk menghalau mereka begitu saja. Jika barisan ini butuh saya bubarkan, cukup saya tiup saja pelan-pelan, itupun dengan perasaan bersalah. Dan tidak sekalidua kali, saya mendapati bukti, bahwa dengan tiupan sederhana, barisan semut ituseperti mengerti dan menyingkir pelan-pelan lalu lenyap masuk liang.
Tetapi walaupunsudahbegini hati-hati kami memperlakukan mereka, menggilas satu dua semut yang lepas dari barisan, dan terutama terlepas dari penglihatan adalah soal yang tak terhindarkan. Tak terkira penyesalan hati saya, tetapi sangat tidak mungkin untuk sama sekali menghindari. Tapi jangankan semut dan cicak, apa pun yang kita cintai ini ternyata memiliki gerak hidup di luar cinta itu sendiri. Ia memiliki garis kemungkinannya sendiri yang sama sekali tak bisa kita kendalikan cuma karena ia kita cintai. Bahkan anak-anak yang amat kita sayangi pun tidak tercegah ketika mereka harus membesar, beranak pinak dan pergi. Jangankan cuma anak, bahkan kita pun tidak pernah benar-benar berkuasa atas nasib diri sendiri. Apalagi yang disebut ‘'diri'' itu adalah medan yang begitu luas. Cuma mengendalikan kepala saja, yang merupakan bagian kecil dari diri itu, kita tidak berdaya. Jika kepala itu ingin pusing dan berdenyut, ya berdenyut saja, tanpa pernah minta persetujuan kita.
Jika nasib kepala saja sudah di luar pemiliknya, apalagi nasib kita seluruhnya. Kita yang hari ini berada di sebuah keaadaanseperti ini, adalah hasildari sebuah keadaan yang tidak sepenuhnya kita kuasai, tetapi kebaikannya selalu terbukti. Jadi itulah watak hidup yangsebetulnya penuh niat baik walau caranya mungkin tak selalu kita sukai.
(Prie GS)
No comments:
Post a Comment