Karena Beban di Pundaknya

Cara ibu pedagang pisang ini menawarkan dagangannya, segera mengubah persepsi saya tentang dunia belanja. Ia seorang ibu tua dengan keranjang besar di punggungnya. Melihat mata saya yang tidak berminat membeli dagangannya, ia segera mengubah gaya: ‘'Sekadar untuk mengurangi beban di pundak saya,'' katanya. Jadi, kalau saya tidak membeli, saya cuma akan melihat pundak yang terluka.

Penawaran ini menyadarkandengan telak, betapa banyak punggung yang akan, sedang dan telah terluka oleh belanja yang dasarnya hanyalah kebutuhan kita tetapi bukan kebutuhan mereka. Betapa banyak barang-barang di rumah kita yang didesain melulu cuma karena kita, bukan karena mereka. Pemutusan mereka dari kita itulah yang mematikan mata rantai hidup.

Maka kini, saya akan menyambung kembali hubungan kita-mereka itu sekuat yang saya bisa walau cuma lewatsoal-soal sederhana. Kepada rumah yang sedang saya bangun, saya urus benar-benar IMB-nya dan melayaniseluruh perubahan gambar yang diminta. Demi apa? Demi agar saya bisa mematuhi seluruh aturan yang digariskan. Segaris dengan aturan itulah sebenar-benarnya kehidupan. Apalagi didalam IMB itu jelas-jelas menentukan luas banggunan optimum, sumur resapan, tinggi bangunan, saluran pembuangan, yang semuanya mengacu pada kepentingan saya sekaligus mereka.

Kepada para pengamen dan peminta-minta sekuat mungkin saya berusaha untuk membuang pikiran bahwa mereka adalah gangguan. Mereka adalah mata rantai hidup yang dikirim pada saya. Kedatangannya adalah kemudahan agar saya tidak repot mencari mereka demi melunasi kewajiban. Atau karena saya tidak juga mendatangi mereka, akhirnya merekalah yang mendatangi saya. Ini boleh saja dianggap bentuk hukuman dan kedatangan mereka itulah yang memudahkan saya untuk segera menjalani hukuman untuk kembali menjadi pihak yang merdeka.

Kepada para pedagang kecil, tukang sol sepatu, reperator payung dan dan para penawar jasa yang lewat di depan rumah, saya upayakan dengan keras untuk mencari apa yang bisa dipertemukan antara ‘'kita-mereka'' itu. Saya biasakan meminum jamu gendong setiap sore selain karena ingin sehat, tetapi juga agar penjual jamu itu juga sehat karena setidaknya memiliki satu lagi pelanggan. Pahit memang jamu itu, tetapi apalah artinya jika buahnya adalah kesehatan bersama, jiwa raga pula.

Sayang, tak seluruh mereka yang lewat sanggup saya masukkan ke dalam daftar kita. Karena jika saya sudah membeli segelas jamu, saya pasti tidak akan membeli jamu lain yang lewat cuma karena ingin menampung semua aliran. Tentu saya tidak puas melihat keterbatasan ini. Ada kalanya malah sedih. Tetapi tak setiap luberen air yang mengalir harus tertampung di pipa saya karena ukurannya memang baru sebatas itu saja. Yang terpenting, seberapapun kecil ini pipa, ia sudah diupayakan sebagai aliran kita dan mereka sekuat yang kami bisa.
 
[Prie GS adalah seorang budayawan dan penulis buku "Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia". Saat ini, ia tinggal di Semarang, Jawa Tengah.]

No comments:

Post a Comment