Multi Level Marketing: Sebuah Permasalahan Kiwari

Seiring kemajuan teknologi beserta pola pikir manusia dan naik turun beserta jatuhnya aqidah dan akhlak mereka, bermunculanlah beragam perkara baru hasil jerih payah usaha manusia, khususnya dalam permasalah bisnis. Semuanya dilakukan untuk memakmurkan diri mereka -demikian anggapan mereka- tentunya dengan berusaha menghipnotis manusia dengan propaganda dan promosi yang sangat menarik dan menggiurkan tanpa memandang dahulu bagaimana tinjauan syari’at Islam yang sangat sempurna ini terhadap jenis perkara tersebut.

Memang demikianlah kondisi sebagian kaum muslimin -kalau tidak dikatakan kebanyakan mereka- memandang usaha hanya semata-mata bagaimana mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin, walaupun itu sangat fantastis dan tampak seperti mimpi. Hal inipun tidak lepas dari berita wahyu yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِن الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!

Artinya: “Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi perduli dengan apa yang dia dapatkan, apakah dari yang halal atau haram?!” (HR. Bukhari 2059)

Berapa banyak seseorang menzhalimi saudaranya hanya dengan dalih harta, bahkan saling menumpahkan darah diantara mereka. Memang benar pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu haditsnya,

إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ

Artinya: “Sesungguhnya setiap umat mendapatkan fitnah dan fitnah umat ini adalah harta.” (HR. Al Timidzi dalam sunannya kitab Al Zuhd)

Fenomena seperti ini memang merupakan ujian yang sulit bagi kaum muslimin ketika iman dan taqwa semakin menipis, sedangkan ketamakan merupakah salah satu tabiat manusia, seperti dijelaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ ؛ لاَبْتَغَى ثَالِثاً , وَلاَ يَمَلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ , وَيَتُوْبُ الله ُعَلَى مَنْ تَابَ

Artinya: “Seandainya anak Adam memiliki dua lembah harta; pasti ia menginginkan yang ketiga, sedangkan perut anak Adam tidaklah dipenuhi kecuali dengan tanah, dan Allah memberi taubat-Nya kepada yang bertaubat.” (HR. Bukhari no 6436, Muslim no 1049)

Apalagi di zaman kiwari ini, dimana media komunikasi dan promosi demikian merebak hingga ke pelosok desa terpencil, sehingga bertebaranlah jenis muamalat di masyarakat yang sebelumnya tidak diketahui, diantaranya MLM (Multi Level Marketing). Oleh karena itu, perlu sekali kita merujuk kepada fatwa para ulama seputar permasalalahan yang sekarang sedang semarak ini dengan beragam nama dan teknik pemasaran, walaupun hakikatnya satu yaitu membuat jaringan bisnis dengan membentuk jaringan piramida dengan cara anggota pertama merekrut beberapa anggota baru yang menjadi kakinya (dalam jaringan tersebut) dan kaki-kaki inipun merekrut yang lainnya agar menjadi lapisan di bawahnya dan seterusnya, dengan syarat setiap orang yang ingin mendapat keanggotaan harus mendaftar dengan membayar sejumlah uang.

Sebagian jenis usaha ini menggunakan produk nyata seperti obat-obatan atau kosmetik atau yang lainnya dan sebagian lainnya tidak menggunakan produk, cukup dengan menyetor sejumlah uang, misalnya Rp 3 juta, lalu bila ia dapat merekrut anggota baru, baik langsung atau tidak langsung akan mendapatkan keuntungan uang tertentu, dan sampai batas tertentu akan mendapatkan bonus keuntungan yang sangat menggoda sekali, seperti kendaraan, naik haji, umroh atau wisata ke luar negeri. Sebaliknya, bila tidak mampu merekrut anggota baru maka tidak mendapatkan keuntungan tersebut dan merugi karena uang keanggotaan tersebut hilang bersama waktu yang ditentukan. Yang aneh, para anggota bisnis tersebut tidak berpikir bila perusahaannya suatu saat akan berhenti, dan itu pasti. Lalu bagaimana dengan nasib anggota yang baru masuk menjelang berhentinya perusahaan tersebut?

Nah, ternyata cara muamalah seperti ini tidak hanya ada di negeri ini saja namun juga ada di luar negeri, sebut saja di Timur Tengah atau Amerika atau tempat yang lainnya yang semuanya sama; menjadikan pertambahan pembayaran keanggotaan sebagai tujuan bisnisnya bukan penjualan produk.

Karena banyak pertanyaan disampaikan kepada para ulama seputar permasalan ini dan perlunya merujuk kepada para ulama dalam perkara kontemporer seperti ini, maka perlu disampaikan hakekat hukum syariat dan pandangan para ulama berkenaan dengan permasalahan ini, sehingga jelas dan gamblanglah sikap seorang muslim terhadap muamalah seperti ini.

Syeikh Hasan bin Ali bin Abdilhamid Al Atsari -Hafidzahullah Ta’ala- berkata seputar permasalahan ini: [1]

“Sesungguhnya (termasuk) kewajiban ulama terpercaya dan para penuntut ilmu yang konsisten, adalah mengangkat problematika aktual, atau permasalahan kontemporer, yang masih sulit dipahami oleh sebagian kaum muslimin-atau banyak dari mereka, sehingga Allah berfirman,

وَإِذْ أَخَذَ اللّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلاَ تَكْتُمُونَهُ

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): ‘Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya…’ “ (Qs. Ali Imran: 187)

Sungguh telah banyak datang soal dan pertanyaan seputar bisnis perdagangan -yang baru!!-, banyak orang terjerumus ke dalamnya dan yang bertanya hukumnya hanyalah orang-orang shalih; sebagaimana Allah berfirman,

وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

Artinya: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.”

Dan sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ مِنْهُ؛ أَمِن الحَلاَلِ أَمْ مِنَ الحَرَامِ؟!

Artinya: “Akan datang kepada manusia suatu zaman (ketika itu) seorang tidak lagi perduli dengan apa yang dia dapatkan[2], apakah dari yang halal atau haram?!” (HR. Bukhari no.2059 dan no. 2083)

Sesungguhnya kami benar-benar memuji Allah Ta’ala atas datangnya pertanyaan-pertanyaan semacam ini di zaman sesulit ini, karena hal ini menunjukkan -walhamdulillah- adanya benih-benih kebaikan dan keimanan yang tertanam kuat di dalam dada banyak orang muslim yang masih ragu -betapapun banyaknya propaganda/penggiur dan penyamaran- terhadap muamalah ini!!

Seandainya setiap muslim menjadikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (berikut):

البِرُّ حُسْنُ الخُلُقِ, وَالإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ, وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ

Artinya: “Kebaikan adalah bagusnya budi pekerti, dan (perbuatan) dosa adalah segala sesuatu yang tertanam di dadamu, sedangkan kamu merasa tidak suka jika ada orang lain yang mengetahuinya.” (HR. Muslim no. 2553)

Sebagai standar acuannya (dalam bermuamalah) dan sebagai pelita hidupnya, tentulah tidak akan pernah terjerumus seorangpun -dari mereka- ke dalam lingkaran besar kebingungan dan kerancuan; dengan mengatasnamakan label Al Din (agama), syari’at, dan label halal!! La Haula Wala Quwata Illa Billah (Dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Agung).

Kesimpulan bisnis perdagangan -yang baru ini!- terwujud dengan keikutsertaan anggotanya dalam aturan pemasaran (marketing) berbentuk jaringan piramid, yaitu setiap anggotanya merekrut dua anggota baru lainnya, dan setiap orang dari anggota baru tersebut merekrut dua anggota baru lagi… demikian seterusnya!!

Keanggotaan tersebut dilakukan dengan cara pembayaran yang dilakukan oleh seorang yang ingin menjadi anggota -dan ini harus dilakukan!- sebagai tanda pembelian produk abstrak (yang tidak ada kenyataan wujudnya)! Agar dia dapat masuk dalam program bisnis ini!! Sebagai imbalan dari bisnis ini, apabila dia berhasil merekrut sembilan anggota baru lainnya; dia akan mulai mendapatkan keuntungan-keuntungan yang diberikan oleh perusahaan induk!!

Sedangkan untuk kontinuitas/kelanggengan (!) dalam mendapatkan keuntungan ini (!), (setiap anggota) diharuskan terus memperbaharui pembayaran (!!) sebesar uang pendaftaran ulang sebagai anggota pada setiap tahunnya!!!

Dan semakin meluasnya piramid (!) yang bermula dari keikutsertaannya sebagai anggota dan sebagai distributor, semakin banyak pula jumlah anggotanya, dan semakin lama jangka waktunya, serta semakin besar pula nominal uang keuntungan yang dijanjikan dan diimpi-impikannya!! [3]

Semua ini tidak terjamin keselamatannya -sama sekali-; karena hal ini -seperti yang akan datang penjelasannya- dibangun di atas pembayaran uang kontan yang jelas (diketahui) untuk mendapatkan keuntungan yang jauh lebih banyak; namun tidak ada kejelasannya (tidak diketahui)!!

Dan hal ini mengandung unsur spekulasi yang tidak terselubung lagi! Semoga Allah merahmati seorang Imam besar Al Laits bin Sa’ad -yang berkata- tentang masalah ini: “Seandainya orang-orang yang memiliki pemahaman halal dan haram mencermati masalah ini, pastilah mereka tidak akan membolehkannya; karena di dalamnya mengandung unsur spekulasi!” (HR. Al Bukhari, no.2346)

Demikianlah mutiara ilmu dan hikmah yang perlu kita perhatikan dan pahami.

Inilah penjelasan Syaikh Ali Hasan -hafizhullahu- semoga dapat menggugah kita untuk lebih berhati-hati.

Wabillahit Taufiq

Footnotes:
[1] Ini semua dari pernyataan beliau dan footnotenya diangkat dari pengantar beliau dalam kitab Ta’rief ‘Uqalaa’ An Naas bi Hukmi Mu’amalat Biznaas- Wamaa Syabahahaa Fi Al Far’i aw Al Asaas, cetakan pertama tahun 2003M, penerbit Dar Al Janaan dan Daar Al Atsariyah hal 3-8

[2] Sama saja di dalam kenyataan muamalahnya, atau tidak ada keinginannya (untuk bertanya -pent). Maka (hendaknya) seorang muslim yang bertaqwa bertanya tentang hukum syar’inya (lebih dahulu) sebelum dia terjerumus ke dalam muamalah ini atau prakteknya.

[3] Maka motivator utama yang mendorong mayoritas anggota (bisnis marketing ini)! -apalagi para distributornya! Atau para pendukungnya!!- adalah janji -atau praduga! dan mimpi-mimpi!!- untuk bisa meraih kekayaan -hanya dalam jangka waktu satu tahun saja-!!

Walaupun (memang) terbukti pada sebagian mereka -dari para perintis (bisnis ini)!- berupa secuil (kekayaan) yang bisa mereka rasakan(!); (Akan tetapi) sesungguhnya hal ini tidak akan dirasakan oleh sebagian besar -dari anggota yang berposisi di tengah atau di akhir dari sistem piramid bisnis tersebut !-, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Artinya: “Tidaklah sempurna keimanan seseorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Juga sebagai peringatan bahwa bagian singa jantan -dan betina!- (bagian keuntungan terbesar dan dominan) dari uang pendaftaran -seluruhnya- kembali kepada perusahaan induk!!!

Hal itu (terjadi) karena perusahaan mensyaratkan kepada setiap anggota (!) yang membayar (99) dolar -sebagai persyaratan masuk sistem piramid tersebut!!- untuk merekrut 9 orang (lainnya) sebelum perusahaan memberikan uang komisi pertama kalinya yang pernah dijanjikan, yang besarnya adalah 55 dolar.

Ditambah lagi dengan hasil penjualan (produk) kepada 9 orang yang membuat perusahaan itu -dengan keadaan seperti ini- mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda, jauh di atas beban biaya produksi -yang diklaim ada wujud produknya-, yang harganya tidak lebih sama sekali dari (24) dolar -sesuai pengakuan sebagian para distributor mereka!!-; yaitu: sama dengan: 9 x 75 = 675 dolar, dikurangi 55 dolar, sehingga sisanya 620 dolar -masih ditambah lagi (75 dolar)-, (dari) uang yang diambil dari anggota pertama tadi -tanpa beban biaya produksi-; yaitu: bahwa anggota yang membawa 9 pendaftar (anggota baru lainnya) (!), dia akan mendapatkan 55 dolar, sedangkan para pemilik/perintis perusahaan tersebut saat itu juga mendapatkan -setelah dikalkulasi!- untung bersih sebanyak 695 dolar.

Dan yang mengherankan (!) bahwa para pemilik perusahaan (Biznas) ini -di dalam situs mereka- mengakui (!) bahwa waktu penyediaan situs khusus bagi para pendaftar baru (!) tidak lebih dari (30) detik saja!!

Maka apakah praktek semacam ini berhak mendapatkan uang sebanyak itu?! Ataukah ia hanya penipuan semata; seperti perkataan orang: “Merubah bentuk untuk bisa makan!!!”

***

Penulis: Kholid Syamhudi, Lc.
Artikel www.ekonomisyariat.com

No comments:

Post a Comment