Perginya Imam Kami

Sudah relatif lama saya menyukai menulis tentang apa yang saya lihat, saya dengar, dan saya alami sendiri. Tapi khusus soal ini, saya tertarik menulisnya, meskipun kisahnya hanya diceritakan oleh seorang teman. Mungkin saja karena orang di dalam cerita itu rasanya dekat dengan hidup saya, atau mungkin karena saya merindukan pribadi seperti dia.

Ini tentang pensiunan guru desa yang menghabiskan sisa hidupnya dengan bertani, mengaji, dan menjadi imam masjid di wilayahnya,. Bertahun-tahun begitu saja kegiatannya. Mengaji, bertani, dan mengimami. Sampai belum lama ini ia meninggal setelah mencangkuli sawah dan membersihkan kebunnya hampir seharian.

Kepergian itu mengejutkan penduduk desa, khususnya warga yang menjadi jamaah rutinnya di setiap salat magrib dan isya. Magrib pertama setelah guru ini meninggal, suasana masjid mencekam. Jamaah menunggu imam mereka yang tak lagi akan datang. Untuk sejenak, orang-orang ini hanya bisa saling pandang, siapa yang akan maju menggantikan. Hampir semuanya ragu dan menolak untuk maju. Dan keraguan itu akhirnya malah berkembang menjadi isak tangis, satu demi satu. Jelas sudah, apa yang sedang berlangsung itu adalah cekaman rasa kehilangan.
 

Memang imam ini telah biasa membuat tangis jamaahnya dengan kotbah-kotbah pendek di berbagai kesempatan. Tetapi saya menduga, tangis kehilangan itu terutama bukan cuma terletak pada kotbahnya, melainkan pada perilaku sehari-harinya. Karena perilaku adalah kotbah yang sebenarnya. Ia bukan cuma dilihat dan didengar tetapi juga dirasakan. Kehilangan apa yang biasa dilihat saja menimbulkan perasaan kehilangan, apalagi jika harus kehilangan apa yang biasa dilihat, didengar, dan dirasakan.

Saya tidak melihat sendiri bagaimana perilaku sehari-hari imam ini. Saya cuma memuat kalkulasi tentang darimana tangis kehilangan itu datang. Rasa itu pasti datang setidaknya dari dua hal: pertama dari rasa kehilangan itu sendiri dan kedua dari rasa rindu. Jika kehilangan itu berbasis romantisme, kerinduan berbasis kebutuhan. Kedua-duanya penting karena keduanya juga cabang dari kebutuhan. Tetapi tegasnya, jika Anda pulang kampung dan melihat sungai desa yang dulu jernih sekarang sudah hilang lalu Anda termangu, itulah romantisme. Tapi jika listrik PLN mati mendadak lalu apa saja kita raba demi mencari di mana korek berada, itulah kebutuhan.

Kegelapan kontekstual semacam itu selalu ada di mana-mana. Ketika bahkan di lokasi bencana terjadi banyak penjarahan, ketika jadwal maskapai paling tua pun masih bisa dilanda kekacauan, ketika pesakitan bisa dengan mudah keluar masuk tahanan dan ketika desa dan kota sudah sama semangatnya dalam soal mabuk-mabukan, itulah kegelapan kontekstual namanya. Ia serupa listrik yang mati tiba-tiba dan kita sangat membutuhkan cahaya saat itu juga. Kita tahu, sesering-sering listrik PLN mati, harus jujur diakui, bahwa ia jauh lebih banyak menyala. Tetapi tidak membutuhkan kematian yang banyak untuk merasakan kegentaran kita atas gelap. Gelap yang sekejap itu pun telah membuat kebutuhan kita atas cahaya demikian besarnya.

Cahaya itulah yang agaknyaya dibawa ke mana-mana oleh imam masjid ini, baik di rutinitasnya sebagai imam, dalam caranya mengolah sawah bahkan dalam caranya meningal dunia. Kepada imam ini, warga sekitar tidak cuma melihat, mendengar tapi juga merasakan. Maka kepadanya, jamaah tidak cuma menemukan romantisme tetapi juga sekaligus menemukan apa yang mereka butuhkan.

[Prie GS adalah seorang budayawan dan penulis buku "Catatan Harian Sang Penggoda Indonesia". Saat ini, ia tinggal di Semarang, Jawa Tengah.]

No comments:

Post a Comment